Larasati ingin menyumbang sesuatu untuk tanah airnya. Tanah air yang walau dirasakannya masih memiliki banyak keburukan, tapi harus tetap dibela karena telah memberinya kehidupan.
Entah kebetulan atau tidak, keempat roman perjuangan tersebut memiliki serangkaian benang merah yang serupa. Bukan sekadar kisah percintaan, tapi juga realitas perjuangan, pengorbanan, serta keberanian yang mengatasi ketakutan. Tidak hanya romantika heroik, tapi juga tentang pengkhianatan, kemunafikan, dan penebusan dosa.
Seolah karya-karya di atas ingin mengatakan bahwa setiap manusia Indonesia sesungguhnya ditakdirkan melalui perannya masing-masing untuk berjuang dan mengabdi membela negerinya. Ibu rumah tangga, guru, ilmuwan, seniman, dan sebagainya peran-peran manusia sebagai warga negara punya andil yang perlu disalurkan untuk kebaikan bangsa dan negara.
Bahwa tak mengapa setiap orang pernah berbuat dosa dan kesalahan besar, tapi selalu tersedia jalan untuk kembali dan membalas budi pada tanah airnya. Tidak masalah manusia harus hidup dengan ketakutan-ketakutan. Sebab dengan itu pula keberanian untuk berkorban bisa tumbuh menguat dalam diri setiap manusia.Â
Bahwa perjuangan mengabdi, membela bangsa serta negara sesungguhnya tidak ada akhirnya. Terus menerus harus ditempuhi seperti jalan yang tak berujung.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H