Romantisasi bisa memicu hiperealita. Jika terus diulang bisa menjadi informasi yang menyesatkan.
Itulah yang muncul dalam benak saya setelah beberapa kali menyaksikan dan merenungi konten video yang diputar di dalam kereta api Taksaka jurusan Yogyakarta-Jakarta.Â
Cukup sering saya menumpang Taksaka. Baik Taksaka lama maupun yang telah mengalami rebranding menjadi Taksaka Hype yang sebenarnya tidak memberi tambahan manfaat signifikan kepada penumpang. Kecuali perubahan seragam petugas dan tempelan stiker di dinding kereta.
Sudah jadi kewajaran dalam perjalanan kereta jarak jauh akan diputar beberapa video melalui layar monitor.Â
Tontonan itu mungkin ditujukan sebagai hiburan bagi penumpang agar tidak bosan selama menempuh waktu berjam-jam. Video yang juga bisa menjadi media sosialisasi dan informasi mengenai layanan transportasi kereta api.
Tujuan yang sebenarnya baik, tapi sayang video semacam itu lebih sering tidak bisa dinikmati. Sebab selain volumenya yang lirih, layar monitornya juga berukuran kecil dan terpasang di ujung kereta sehingga banyak penumpang tak bisa benar-benar menyimaknya. Lagi pula lebih mengasyikkan menonton youtube lewat smartphone.
Lebih dari itu, konten video tersebut entah mau dikatakan terlalu meromantisasi perjalanan atau sengaja dilebih-lebihkan dengan mengadopsi gaya sinetron Indonesia.Â
Sementara kita tahu corak sinetron negeri ini sering tidak masuk akal ceritanya. Hasilnya konten video kereta api pun menjadi tidak selaras dengan kenyataan.
Ketidakselarasan itu akan mudah dipahami oleh mereka yang sering bepergian dengan kereta api dan mengetahui seluk beluk stasiun tertentu. Agar lebih jelas apa yang dimaksudkan di sini, saya ceritakan ringkasan isi video yang sering diputar dalam perjalanan kereta Taksaka.
Ditampilkan dalam video tersebut telah terjadi perjumpaan sepasang manusia, penumpang laki-laki dan perempuan dalam sebuah perjalanan kereta. Â Keduanya bertemu pandang saat sedang menuju kursi tempat duduk masing-masing.Â
