Sejak reformasi 1998, Indonesia terus berupaya menjadi negara hukum dan demokrasi yang lebih mapan serta modern. Dalam perjalanan penuh onak dan duri. Tidak sedikit catatan kekurangan. Namun, banyak pula kemajuan yang patut disyukuri. Salah satunya berkat kehadiran Mahkamah Konstitusi (MK).
Memang MK belum terlalu populer sebagai bahan perbincangan sehari-hari masyarakat Indonesia. Itu bisa dipahami karena Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia relatif masih muda dibanding lembaga-lembaga negara lainnya.
Baru berdiri pada 13 Agustus 2003, MK merupakan "anak reformasi". Kelahirannya dibidani oleh UUD 1945 hasil amandemen ketiga yang mengamanatkan dibentuknya sebuah lembaga untuk menjalankan kekuasaan kehakiman bersama Mahkamah Agung.
Selain itu, kewenangan yang dimiliki MK juga membuatnya lebih sering menyedot perhatian pada saat-saat istimewa. MK ibarat jagoan penentu yang muncul saat masyarakat dan negara sangat membutuhkan keadilan serta kepastian hukum. Salah satunya saat menjelang dan sesudah pilkada maupun pemilu.
MK dan Pemilu
Bagi kebanyakan masyarakat Indonesia, MK identik dengan pemilu, terutama pilpres. Â Kenyataannya memang sengketa atau perselisihan hasil pemilu menjadi salah satu penyumbang pekerjaan terbanyak bagi MK. Sebab ada kecenderungan yang semakin pasti bahwa hasil pemilu dan pilkada akan dipersengketakan. Ketidakpuasan pihak yang kalah mengantarkan mereka ke peradilan MK.Â
Kemudian lewat sidangnya yang terbuka dan boleh disiarkan langsung oleh TV, masyarakat bisa menyimak kiprah MK. Menyaksikan ketegasan, kebijaksanaan, serta ketajaman pikiran para hakim MK dalam mengadili sengketa pemilu menjadi pengalaman baru bagi masyarakat Indonesia. Salah satu yang paling sering ditunggu ialah saat para hakim MK menanyai para saksi. Tak jarang momen itu menciptakan situasi penuh ironi, dramatis, tapi juga bisa humoris.
Besarnya perhatian masyarakat terhadap sidang sengketa pemilu di MK, tidak mengherankan jika saat itulah banyak orang baru menyadari eksistensi sebuah mahkamah konstitusi di negeri ini. Banyak yang baru mengetahui nama ketua MK dan para hakim konstitusi yang merupakan sosok-sosok pilihan di negeri ini setelah menonton sidang MK melalui TV.
Identiknya MK dengan sidang sengketa pemilu bukanlah persoalan. Sebab salah satu wewenang dan tugas MK memang memutus perselisihan hasil pemilu. Itu sesuai dengan UUD 1945 pasal 24 C.
Persoalan terkait mekanisme penyelenggaraan pemilu yang diatur oleh undang-undang juga diadili oleh MK. Contoh yang masih hangat dan segar ialah polemik penyelenggaraan pemilu apakah dengan sistem proporsional terbuka atau tertutup.
Putusan MK tentang hal itu pada pertengahan Juni 2023 bisa dikatakan sebagai "pertunjukkan awal" tentang hiruk-pikuk pemilu 2024. Pertunjukkan yang didahului dengan sebuah isu liar. Seorang advokat dan mantan pejabat mengklaim telah mendapat bocoran bahwa MK akan memutuskan pemilu digelar dengan sistem proporsional tertutup.Â