Beberapa buku bekas yang saya dapatkan membawa kenangan berupa cap perpustakaan sekolah atau universitas. Mudah untuk menebaknya bahwa buku itu dulunya merupakan penghuni rak bacaan sekolah. Dengan alasan tertentu, buku-buku itu dikeluarkan dari perpustakaan dan dijual. Setuju atau tidak dengan praktik pembersihan koleksi perpustakaan seperti ini, tetap ada sisi positifnya. Sebab daripada buku-buku dibakar, dirajang, atau dibiarkan lapuk dimakan kelembaban, lebih baik dipindahtangankan kepada orang yang masih mau merawat dan memilikinya.
Buku-buku lawas bekas perpustakaan hampir bisa dipastikan telah dijamak oleh banyak tangan. Apalagi jika bukunya merupakan bacaan wajib yang sering dijadikan sumber tugas dalam pelajaran-pelajaran.
Layaknya buku perpustakaan sekolah, kadang kartu baca masih menempel di halaman belakang. Dari kartu itulah saya angan saya membayangkan kapan pertama kali buku itu dicatat sebagai inventaris perpustakaan, siapa yang pernah meminjamnya, kapan buku itu dipinjam dan dikembalikan.Â
Saya membayangkan itu sebab dulu saya pun melakukan hal yang sama ketika bersekolah. Setiap mendapatkan tugas pelajaran yang mengharuskan saya meminjam buku di perpustakaan, salah satu yang tak boleh dilupakan ialah mengisi kartu baca sebagai bukti peminjaman dan pengembalian buku.
Nostalgia kenakalan waktu sekolah pun bangkit kembali dari buku bekas dan lawas. Menemukan coretan-coretan nama, saya bayangkan bahwa nama-nama itu merupakan kelompok belajar yang mendapatkan tugas untuk membaca buku yang sama. Satu buku diperuntukkan untuk beberapa murid.Â
Sungguh saya pun pernah menempuhi periode seperti itu dulu. Mencoreti buku perpustakaan dengan tulisan-tulisan random. Menggarisi kalimat-kalimat penting yang berisi sajak, majas, ungkapan, atau jawaban dari pertanyaan yang diberikan guru.Â
Hal-hal demikian membuat saya sering termenung lama ketika memegang buku bekas dan lawas. Sering saat sedang membaca buku bekas dan lawas, pikiran saya berbelok pada kenangan yang tiba-tiba muncul dan membuat saya berkelana jauh ke belakang. Saya menganggap itu bukan gangguan, justru selingan yang mengasyikkan.
Sama mengasyikkannya ketika pada buku bekas yang lawas saya dapati label harga yang masih menempel. Ada buku dari tahun 1991 yang saya miliki berlabel harga Rp5500. Buku dari tahun yang lebih lawas berlabel harga Rp1750. Bahkan, buku-buku bertahun 1970-an saya dapatkan dengan label harga senilai ratusan rupiah.
Tentu untuk ukuran sekarang harga-harga tersebut tergolong rendah dan murah. Namun, berbeda ceritanya dengan puluhan tahun silam. Mari bayangkan untuk membeli sebuah buku seharga Rp1750, seseorang pada 1977 perlu menempuh prihatin dengan cara menyisihkan uang jajan seperti kita sekarang menyisihkan uang saku harian untuk menonton konser.
Mengingat zaman dulu, mengumpulkan uang Rp1750 boleh jadi lebih perlu usaha keras. Lalu saat uang telah terkumpul, orang itu berusaha pergi ke tempat buku-buku biasa dijual.Â