Selalu begini. Selalu saja "pulang-pergi" muncul di halaman depan jendela aplikasi pemesanan tiket. Entah tiket kereta, bus, kapal, atau pesawat. Baik aplikasi yang satu, satunya lagi, dan lainnya.
Mengapa harus "pulang-pergi" yang ditampilkan? Seakan-akan membeli tiket keberangkatan wajib disertai tiket kepulangan.Â
Seolah-olah setiap orang sudah tahu kapan akan kembali lagi. Seakan setiap orang sudah menentukan kapan perjalanan akan diakhiri dan kepulangan akan dijalani. Seolah semua orang punya banyak uang sehingga tiket bolak-balik dianggap murah dan mudah.
Singkatan "PP" yang tertulis di jendela kabin bus AKAP, di stiker rute angkot dan di semua tiket perjalanan, juga disepakati sebagai "pulang-pergi". Bukan "pergi-pulang".
Mengapa bisa demikian? Bukankah kita membeli tiket mula-mula untuk kepergian? Setiap perjalanan juga selalu diawali dengan keberangkatan, kepergian. Mana ada orang yang belum berangkat pergi, tapi sudah pulang.
Entah siapa pencetus awal "pulang-pergi". Entah apa yang ada di benaknya ketika membuat pasangan kata dengan meletakkan "pulang" di depan, baru diikuti "pergi" di belakang.
Anehnya, manusia menerima itu sebagai kesepakatan bulat. Kita tak pernah memprotes perihal "pulang-pergi". Belum pernah ada petisi dari netizen kepada pemerintah untuk mengubah "pulang-pergi" menjadi "pergi-pulang".
Tapi kini saya mulai mengerti mengapa "pulang-pergi" selalu muncul di aplikasi pemesanan tiket. Mengapa tak pernah bisa digantikan dengan "pergi-pulang".
Rupanya itu merupakan cara semesta untuk selalu mengingatkan dari mana kita berasal. Agar kita tak lupa untuk pulang. Tak lupa pada kampung halaman.
Agar ke manapun pergi, kita selalu punya tempat asal yang dituju suatu hari nanti. Agar kita yang telah menjadi orang kota tak lupa untuk menuju ke mana kita pulang nanti. Tak malu untuk menceritakan dari mana asal muasal kita.