Buku itu masih utuh dan rapi. Meski lembaran-lembarannya telah menguning, aromanya terasa wangi. Sebab pada halamannya ada goresan tangan dari sembilan orang yang memberi arti.
Salah di antaranya nampak berbeda. Pada sebuah nama tertulis "TAK MAMPU MEN2". Mas Carlo Saba yang menulisnya. Ia tahu saya suka sekali lagu Tak Mampu Mendua.
20 tahun lalu lagu itulah yang mengawali kekaguman saya pada KAHITNA. Suara Mas Carlo membuat saya mengenali indahnya lagu itu.Â
20 tahun lalu, senandungnya saat menyanyikan "Mendua aku tak mampu, mengikat cinta bersama denganmu..", adalah bagian yang segera mengambil tempat di hati saya. Lewat lirik itu, melalui suara emas Mas Carlo, saya jatuh cinta pada Tak Mampu Mendua.
20 tahun lalu, dimulai dari Tak Mampu Mendua, saya mendengar lagu-lagu KAHITNA berikutnya. Tak ada yang tak indah. Namun, Tak Mampu Mendua masih yang teristimewa bagi telinga dan perasaan saya.
18 Februari 2023, saya berdiri di lapangan Sam Poo Kong, Semarang. Malam itu sama seperti perasaan-perasaan sebelumnya yang selalu bahagia ketika menyaksikan KAHITNA di atas panggung.
Namun, tak ada Mas Carlo di barisan terdepan. Ia sedang tidak enak badan, begitu kabarnya. Kang Hedi dan Mario lalu dibantu oleh Pungky dari 5Romeo.
Itu bukan pertama kali saya menonton KAHITNA tanpa salah satu atau dua personelnya. Beberapa tahun lalu di Solo saya menonton mereka tanpa Mario dan Mas Carlo yang sedang kurang fit secara bersamaan. Lain waktu saya menonton KAHITNA tanpa Pak Budi. Sementara pada pertunjukkan 28 tahun KAHITNA di Surabaya, giliran mas Bambang yang absen karena sedang berada di Kanada.
Saya tak memaknai keindahan KAHITNA menuruti kekaguman pada orang per orang. Sejak awal saya menyukai KAHITNA sebagai perkumpulan sembilan orang. Saya lebih dulu hafal lagu KAHITNA dibanding tahu nama-nama personelnya.