Mohon tunggu...
Hendra Wardhana
Hendra Wardhana Mohon Tunggu... Administrasi - soulmateKAHITNA

Anggrek Indonesia & KAHITNA | Kompasiana Award 2014 Kategori Berita | www.hendrawardhana.com | wardhana.hendra@yahoo.com | @_hendrawardhana

Selanjutnya

Tutup

Kurma Artikel Utama

Waktu Seolah Berhenti di Rumah Nh. Dini

19 April 2023   20:16 Diperbarui: 20 April 2023   03:35 1389
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Halaman depan rumah Nh. Dini (dok.pribadi).

Jalan besar itu masih ada. Meski namanya tak lagi sama dengan yang tertulis di dalam cerita. Jalan Bojong kini telah berganti sebutan menjadi Jalan Pemuda yang membentang di jantung Kota Semarang.

Di sisi selatan jalan tersebut, dalam dekapan kepadatan pencakar langit, sebuah kampung masih bertahan memeluk sejarahnya yang panjang. Menjadi saksi naik turun kehidupan kota dan perubahan zaman.

Kampung Sekayu namanya. Di sini ada sebuah rumah yang telah setia merekam masa panjang kehidupan para penghuninya. Salah satunya seorang bernama Nh. Dini.

Di rumah ini Nh. Dini tumbuh dan melalui masa belasan tahun yang penuh cerita. Sejak masa kanak-kanak hingga remaja. Dengan tekun ia menghayati suka duka kehidupannya bersama keluarga, kehidupan kota Semarang, dan orang-orang Sekayu.

Bagi Nh. Dini, ada dua hal yang menyumbang kenangan dan bekal kehidupan paling kaya dalam batinnya. Pertama sang ibu. Kedua ialah rumah Sekayu yang sudah berdiri sejak sebelum ia lahir pada 29 Februari 1936.

"Sebuah Lorong di Kotaku", "Padang Ilalang di Belakang Rumah", "Langit dan Bumi Sahabat Kami", "Sekayu", serta "Kuncup Berseri" sesungguhnya adalah memoar hari-harinya yang berpangkal dari rumah Sekayu. Tempat pertama yang menempa sifat dan pemikiran Nh. Dini. Rumah yang kelak memberinya pemahaman dan inspirasi tajam bagi lahirnya cerita-cerita hebat. Bahkan, "Pada Sebuah Kapal" sebenarnya diam-diam mengambil sepenggal kejadian nyata di rumah Sekayu yang oleh Nh. Dini samarkan sebagai cerita fiksi.

Rumah Nh. Dini hanya berjarak 600 m dari Amaris Hotel Pemuda (dok.pribadi).
Rumah Nh. Dini hanya berjarak 600 m dari Amaris Hotel Pemuda (dok.pribadi).

Berdiri di muka pagar pada Minggu (19/2/2023) pagi, hati saya terasa hangat dan bergetar memandangi rumah bercat putih sayu itu. Lama saya tertegun mengamati semua kenampakan di depan mata.

Ternyata Nh. Dini tidak berbohong. Rumah itu seperti yang ia tuliskan dalam rangkaian ceritanya. Bentuk bangunannya kental dengan kekunoan. Lokasinya di pojok kampung karena mengambil tempat di sudut tikungan jalan yang membatasi Sekayu dengan sungai dan kampung Batan Miroto.

Nh. Dini juga benar saat mencitrakan rumah masa kanak-kanaknya sebagai yang terbesar di kampung selatan masjid. Ternyata hingga kini rumah bernomor 348 itu masih yang terbesar dari sekitarnya. 

Lagi-lagi Nh. Dini berkata lurus. Saat kecil ia menyukai rumahnya karena memiliki halaman yang luas di depan, belakang, dan samping. Halaman itu penuh naungan hijau: mangga, mangga gurih, sawo, belimbing, belimbing wuluh, pisang, dan kedondong. Tak ada rumah di Sekayu dengan halaman seteduh rumahnya.

Hingga sekarang sebagian kenampakan itu masih dijumpai. Di halaman depannya yang luas saya dapati pohon mangga menggantungkan buah-buahnya yang hijau ranum. Pepohonan lain dan tanaman dalam pot juga mengisi kepadatan penjuru halaman. 

Halaman depan rumah Nh. Dini (dok.pribadi).
Halaman depan rumah Nh. Dini (dok.pribadi).

Menurut Oeti Adiyati, keponakan Nh. Dini yang tinggal di rumah tersebut, beberapa pohon tua warisan masa kecil Nh. Dini sebenarnya telah mati atau ditebang. Namun segera digantikan dengan yang baru, termasuk pohon mangga di depan rumah yang sedang berbuah. 

Dari halaman, Oeti lalu mempersilakan saya untuk mengamati beberapa sudut terluar rumah. Waktu seolah berhenti ketika memandangi terasnya yang menyerupai pendopo mungil, diapit dua kamar besar di sebelah barat dan timur. 

Dalam "Langit dan Bumi Sahabat Kami" serta "Kuncup Berseri", Nh. Dini bercerita bahwa dua kamar itu pernah disewakan sebagai kamar kos untuk orang-orang yang bersekolah atau bekerja di sekitar Jalan Bojong (Jalan Pemuda). Saat kecil Nh. Dini pernah menempati kamar di sisi timur dan berbagi ruang tidur dengan seorang penghuni kos.

Rumah Nh. Dini di pojok kampung Sekayu (dok.pribadi).
Rumah Nh. Dini di pojok kampung Sekayu (dok.pribadi).

Kecuali dindingnya yang telah berganti dengan tembok semen, bentuk rumah itu tak banyak berubah. Pintu utama bagian depan yang terbuat dari kayu keras merupakan bagian penting yang dipertahankan keasliannya. 

Sebuah peristiwa pada masa kecil membuat Nh. Dini menaruh perhatian pada pintu tersebut. Bermula ketika ibunya mengundang "orang pintar" untuk menerawang rumahnya.  Didapati bahwa bagian depan pintu utama dihuni oleh sesosok makhluk halus. Agar tak mengganggu, para penghuni rumah diharapkan berlaku sopan ketika melewati pintu. 

Sejak saat itu setiap berjalan masuk atau keluar rumah melalui pintu depan, Nh. Dini selalu melangkah agak ke samping. Pemahaman masa kecilnya menganggap itu sebagai cara agar kakinya tak menabrak makhluk penunggu pintu. 

Pintu rumah Nh. Dini (dok.pribadi).
Pintu rumah Nh. Dini (dok.pribadi).

Selain pintu, bingkai kayu yang menjadi lubang ventilasi di atasnya juga masih asli. Bahkan, papan-papan kayu yang melapisi langit-langit atap tak diganti.

Bukan hanya itu, hiasan berupa papan kayu berjeriji yang memanjang seperti renda juga masih dijumpai di bibir teras pendopo rumah. Saat kecil Nh. Dini mengagumi hiasan itu karena menurutnya selaras dengan rimbunnya halaman sehingga bagian depan rumah terlihat semakin megah.

Seolah memahami rasa penasaran saya, Oeti mengarahkan saya untuk melongok ke sisi timur rumah. Menjumpai pekarangan kecil yang ditumbuhi pohon pisang, senyum saya merekah. Ini pasti bagian yang oleh Nh. Dini namai sebagai "wetan ndalem".

Berulang kali dalam buku-bukunya Nh. Dini menyebut "wetan ndalem" sebagai sepetak halaman sempit di timur rumah yang berbatasan dengan bekas markas polisi. Saat kecil Nh. Dini suka merenung dan menyendiri di "wetan ndalem". Sebab di sana ada keheningan yang khusuk akibat naungan pohon pisang serta rumpun pepohonan lain.

"Wetan ndalem" (dok.pribadi).

Lalu saya berbalik ke sisi barat. Di sana ada sebuah toren air berada di ketinggian yang disangga tiang-tiang berkarat.

Bayangan Nh. Dini seolah hadir pagi itu menerangkan apa yang saya lihat. Dalam "Langit dan Bumi Sahabat Kami", ia mengurai pengalaman masa kecilnya ketika melihat ayah dan beberapa tetangga menggali tanah di halaman depan dan samping rumah.

Saat itu mereka sedang hidup dalam keprihatinan dan kekurangan air bersih akibat perang revolusi kemerdekaan. Ayah Nh. Dini pun berinisiatif membuat sumur-sumur baru di halaman. Kemudian airnya dialirkan dengan pipa agar para tetangga bisa memanfaatkannya. 

Apakah sumber air di bawah toren itu termasuk bagian halaman yang digali oleh ayah Nh. Dini?

Sungguh mata, hati, dan pikiran ini hidmat mencerna setiap yang nampak dari rumah dan halamannya tersebut. Sayang waktu berlalu dengan cepat membuat saya harus berpamitan undur diri.

Melangkah ke luar, di depan pagar saya kembali menyempatkan memandangi rumah itu. Sejenak waktu kembali seolah berhenti. Nh. Dini memang telah tiada, tapi rumah itu telah memeluk utuh kenangan tentang kehidupannya.  


Saya pun berjanji akan datang kembali. Untuk "bertemu" lagi dengan Nh. Dini. Serta mengantarkan sebuah koleksi buku lawasnya yang saya punyai. Sebab keluarga Nh. Dini hanya menyimpan sekitar 14 judul. Sementara saya beruntung memiliki lebih dari 30 judul.

Saat kesempatan itu tiba, saya ingin menginap di Amaris Hotel Jalan Pemuda Kota Semarang. Pasti nyaman dan menyenangkan berada di hotel ini. Apalagi rumah Nh. Dini berada dekat sekali di selatan hotel. 

Cukup dengan berjalan kaki sekitar 600 meter dari Amaris Hotel Pemuda, saya akan segera sampai di muka rumah Nh. Dini. Rumah di mana waktu seolah berhenti sejenak ketika memandangi segenap kenampakannya yang penuh sejarah, kenangan dan cerita.

Sampai nanti, eyang Nh. Dini.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kurma Selengkapnya
Lihat Kurma Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun