Seperti saya ceritakan pada artikel samber ke-3 yang lalu, Ramadan kali ini saya mendedikasikan sebagian waktu untuk membaca beberapa buku. Tujuannya guna mengasah keterampilan membaca secara lebih efektif sehingga tak menumpuk terlalu banyak utang bacaan.
Di antara judul-judul yang saya baca pada Ramadan ini ialah karya Nh. Dini: "Langit dan Bumi Sahabat Kami" serta "Tanah Baru Tanah Air Kedua". Dua judul itu saya punyai dalam dua versi sampul dari dua penerbit berbeda.Â
Sebelumnya saya telah membaca "Langit dan Bumi Sahabat Kami" yang diterbitkan oleh Gramedia. Kali ini saya memilih bernostalgia dengan sampul yang lebih lawas terbitan Pustaka Jaya. Sedangkan "Tanah Baru Tanah Air Kedua" terbitan Pustaka Jaya merupakan "reborn" dari "Orang-orang Tran" terbitan Sinar Harapan.
Saya punya alasan khusus untuk memilih membaca kembali karya Nh. Dini tersebut. Selain ceritanya saya sukai, juga karena ilustrasi sampulnya yang memikat. Meski diterbitkan oleh dua penerbit berbeda, masing-masing sampul menurut saya tetap akurat mewakili cerita yang Nh. Dini tulis di dalamnya.
Menyandingkan sampul depan "Langit dan Bumi Sahabat Kami" versi Gramedia dan Pustaka Jaya, nampak bahwa keduanya agak berbeda memilih sudut cerita yang hendak diangkat ke sampul.Â
Versi Gramedia menampilkan ilustrasi cerita yang spesifik, yakni seorang bocah perempuan dengan latar belakang seorang ibu dan bapak yang sedang mencabut singkong di sebuah kebun dengan besar.
Bocah perempuan itu tentulah Nh. Dini. Sementara dua orang di belakangnya kalau kita membaca bukunya akan segera bisa mengenalinya sebagai ayah dan ibu Nh. Dini yang sedang memanen singkong.
Dalam buku tersebut memang termuat babak cerita masa kecil Nh. Dini yang penuh keprihatinan saat Semarang diduduki penjajah. Bahan-bahan makanan sulit didapat sehingga rakyat terpaksa mengkonsumsi bahan pengganti nasi, salah satunya singkong.
Sementara sampul versi Pustaka Jaya lebih sederhana. Bisa dipahami karena buku itu cetakan pertama tahun 1979.Â