Petang semakin syahdu. Mendekati maghrib keramaian semakin menjadi-jadi. Jalanan di pinggir alun-alun telah semakin sesak sebagai tempat berlabuh motor, sepeda, becak, dan andong. Roda empat  dilarang parkir di alun-alun.
Obrolan Marso dan Saliyo terhenti ketika sebuah sepeda motor melambat persis di seberang angkringan. Ada dua orang di atas sepeda motor itu. Seorang diantaranya dengan cepat Marso kenali. Ia langsung melambaikan tangan memberi kode.
"Wah, memang mantep temen kita itu, naik motor dianter sopir", ucap Saliyo begitu melihat Rohmat turun dari boncengan.Â
Marso ikut mengangguk saja. Ia tak berkomentar, tapi menyimpan kekaguman yang sama. Apalagi Rohmat sore itu menggunakan sepatu dan kemeja yang bagus. Motornya juga keren, sama seperti yang Rohmat kendarai saat bertemu terakhir kali.
Rohmat telah sampai di muka angkringan. Marso dan Saliyo bangkit dari duduknya, menjemput sahabat yang sudah dinanti-nanti. Bertiga mereka berangkulan sebentar, lalu menyebar duduk mengelilingi gerobak angkringan.
Saliyo kembali mengulang kekagumannya. Kali ini langsung di hadapan Rohmat. "Kamu kok hebat, Mat. Kemana-mana ada yang nganter ya? Pakai motor juga dianter".
Rohmat tak langsung menjawab. Sebentar ia menggulung lengan kemejanya. Nafasnya melenguh pendek.Â
"Enak gimana? lha wong orang itu debt collector, leasing", kata Rohmat.
Sementara orang yang oleh Marso dan Saliyo sangka sebagai sopir berlalu bersama sepeda motor yang mengantar Rohmat, adzan magrib menggema dari toa masjid di barat alun-alun.
**
Disclaimer: cerita ini merupakan fiksi, jika ada kemiripan latar, tempat, dan nama, mohon tetap dianggap fiksi.