Kalau dipikir mendalam, momen berpuasa semasa kecil yang paling membekas dan seringkali datang lagi dalam ingatan ketika dewasa ialah ketika salat tarawih di masjid.
Tidak seperti sekarang yang ramai dengan masjid dan musala, kampung halaman saya dulu hanya punya satu masjid besar. Itu masjid kampung yang berarti di sana setiap malam pada bulan Ramadan ramai jamaah dari beberapa RT bersujud bersama.Â
Ramainya mirip seperti ada hajatan karena penjual aneka makanan, minuman dan mainan berjejer di ruas jalan di depan masjid. Penjual jagung bakar, serabi dan es dawet kacang ijo jadi kesukaan saya.
Pergi ke masjid saya suka berangkat berombongan dengan teman-teman sepermainan. Biasanya kami janjian untuk saling menjemput terlebih dahulu. Untuk itu selepas makan berbuka, saya sering berpamitan lebih awal. Jika bukan untuk menjemput teman-teman, maka saya yang sudah dijemput oleh mereka. Hari-hari tertentu saya berangkat bersama bapak dan kakak.
Jika berangkat bersama teman-teman, kami suka lewat jalan pintas menerabas kebun-kebun yang saat itu masih banyak dijumpai sebagai halaman belakang maupun depan rumah tetangga. Mencari rambutan, mangga atau buah-buahan lain yang mungkin terjatuh jadi aktivitas selingan yang menyenangkan sembari menuju masjid. Kebun di samping rumah dulu pun jadi kediaman bagi belimbing dan mangga yang lumayan rajin berbuah. Oleh karena suasananya yang rindang dan tanahnya yang datar, kebun itu jadi salah satu tempat bermain saya dan teman-teman di kala siang hingga sore.
Sedangkan jika berangkat bersama bapak dan kakak, rutenya lebih membosankan. Kami hanya berjalan lurus dari depan rumah menuju ujung gang yang jauhnya sekitar 200 meter. Lalu di ujung gang kami berbelok ke utara mencapai perempatan desa. Sesampainya di sana kami menyeberang jalan besar dan langsung menuju ke timur. Jaraknya kira-kira hanya 100 meter karena dari perempatan jalan itu masjid sudah nampak temboknya.Â
Setiba di masjid saya segera memisahkan diri dari bapak dan kakak. Bergabung dengan gerombolan teman-teman yang suka duduk-duduk di dekat bedug.Â
Sudah barang tentu keisengan kami dengan bedug itu seringkali membuat rusuh suasana masjid menjelang dan sesudah salat tarawih. Sebab masing-masing anak berebutan untuk memukul bedug. Kayu yang disediakan sebagai pemukul pun sering terlempar ke sana ke mari oleh tangan-tangan kami.Â
Pengurus masjid dan para orang tua bukan tidak peduli dengan polah kami para bocah. Kadang kayu itu tak kami jumpai karena sengaja disembunyikan atau diambil untuk disimpan. Kami tak hilang akal. Memukul pakai tangan jadi pilihan. Sandal dan peci pun sering kali berubah fungsinya.
Namun, tak ada kerusuhan yang lebih heboh selain yang terjadi di tengah-tengah salat tawarih berlangsung. Sejak dulu masjid kampung kami menyelenggarakan tarawih 23 rakaat. Kabar dari orang tua, hingga kini pun kebiasaan itu masih berlanjut.Â