Mohon tunggu...
Hendra Wardhana
Hendra Wardhana Mohon Tunggu... Administrasi - soulmateKAHITNA

Anggrek Indonesia & KAHITNA | Kompasiana Award 2014 Kategori Berita | www.hendrawardhana.com | wardhana.hendra@yahoo.com | @_hendrawardhana

Selanjutnya

Tutup

Hukum Pilihan

Polisi Tidak Takut Presiden, Lebih Takut CCTV?

20 Oktober 2022   08:38 Diperbarui: 20 Oktober 2022   08:58 384
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Coretan "Raja Pungli" di mobil operasional Polres Luwu (foto: kompas.com/Muh. Amran Amir).

Apakah menghapus dan merusak CCTV termasuk kompetensi yang diajarkan di sekolah kepolisian?

Sebuah temuan mengejutkan terungkap dalam hasil investigasi Tim Gabungan Independen Pencari Fakta (TGIPF) Tragedi Kanjuruhan. Tim yang dibentuk dan ditugaskan langsung oleh Presiden Jokowi tersebut menemukan adanya tindakan aparat kepolisian yang mencoba mengganti rekaman CCTV di Stadion Kanjuruhan.

Tim yang dipimpin oleh Menkopolhukam Mahfud MD tersebut juga mengungkap adanya rekaman CCTV berdurasi 3 jam 21 menit 54 detik yang telah dihapus. Penghapusan diduga mulai dilakukan pukul 22.21 pada malam terjadinya tragedi.

Tindakan aparat kepolisian yang dianggap menghambat investigasi TGIPF itu telah dilaporkan kepada Presiden Jokowi bersama dengan hasil investigasi keseluruhan.

Takut CCTV?

Kini bola di tangan Presiden Jokowi. Seiring berakhirnya tugas TGIPF, rekomendasi-rekomendasi yang telah dihasilkan menunggu untuk ditindaklanjuti. Pengusutan kebenaran untuk menegakkan keadilan atas Tragedi Kanjuruhan sangat tergantung pada komitmen tegas pemerintah dan presiden.

Terkait upaya menghalangi investigasi, presiden perlu segera memerintahkan Kapolri untuk turun tangan. Jika terbukti ada anggota yang mengganti dan menghapus CCTV, tindakan tersebut bisa dikategorikan merendahkan dan melawan Presiden Jokowi. Mengingat TGIPF bertugas atas instruksi presiden yang ditetapkan melalui Kepres Nomor 19 Tahun 2022.

Hilangnya sebagian rekaman CCTV yang memuat kronologi peristiwa di Stadion Kanjuruhan berpotensi membuat kebenaran dan keadilan semakin menjauh. Apalagi hingga detik ini pengusutan Tragedi Kanjuruhan berjalan lambat.

Akan menjadi sesuatu yang sangat buruk jika mengganti dan menghapus CCTV menjadi "pola kebiasaan" polisi saat terjadi peristiwa yang melibatkan anggotanya.

Setidaknya kita sudah menyaksikan pola tersebut berdampak besar pada kasus pembunuhan Brigadir J yang diotaki oleh Ferdy Sambo. Untuk memuluskan skenarionya, Ferdy Sambo memerintahkan sejumlah anak buahnya untuk mengganti dan merusak rekaman CCTV di sekitar tempat kejadian.

Ketiadaan sejumlah rekaman CCTV akhirnya membuat bagian terpenting dari peristiwa pembunuhan Brigadir J menjadi gelap. Fakta-fakta yang hilang seiring terhapusnya rekaman CCTV telah memberi jalan bagi pihak-pihak tertentu untuk menciptakan banyak versi cerita demi lolos dari jerat hukum. Satu cerita disanggah, muncul lagi versi cerita terbaru dan seterusnya.

Maka dari itu, terungkapnya upaya mengganti dan menghapus CCTV Tragedi Kanjuruhan pantas membuat kita bertanya secara kritis.

Apakah menghapus dan merusak CCTV termasuk kompetensi dasar dan keterampilan yang diajarkan dalam kurikulum pendidikan polisi? Mengapa institusi penegak hukum ini sangat takut pada CCTV?

Bahkan, ketakutan polisi pada CCTV terkesan melebihi kepatuhan pada instruksi Presiden.

Pencitraan Kamera TV

Kecenderungan mengganti, menghapus, atau merusak CCTV saat terjadi peristiwa penting bertolak belakang dengan citra polisi yang selama ini ditampilkan di TV.

Seperti diketahui bersama banyak acara atau program TV yang menayangkan liputan sepak terjang polisi saat bertugas. Acara 86 di NET TV merupakan salah satu yang populer.

Melalui acara-acara TV tersebut polisi digambarkan sebagai aparat yang sangat transparan dan terbuka dengan peliputan kamera. Kameramen TV bisa mengikuti polisi ke manapun pergi, termasuk mengambil rekaman paling dekat saat polisi melakukan penindakan dan pena ngkapan pelaku kejahatan.

Dalam acara-acara TV polisi juga tampil sebagai aparat yang tanggap dengan laporan masyarakat. Tegas dan sigap menindaklanjuti keluhan warga.  Citra humanis dan ramah dikedepankan polisi saat memberikan edukasi kepada pelanggar hukum seperti pelaku tawuran dan pelanggar lalu lintas.

Tak jarang acara-acara TV menayangkan polisi-polisi yang humoris ketika menilang pengendara. Bahkan polisi bersedia diajak berfoto oleh warga menggunakan smartphone.

Coretan
Coretan "Sarang Pungli" di Polres Luwu (foto: kompas.com).
Namun, gambaran dalam acara-acara TV tersebut sering bertolak belakang dengan kenyataan di lapangan. Banyak kejadian justru memperlihatkan sikap polisi yang "insecure" jika ada kamera smartphone mengarah ke mereka.

Polisi sering tidak berkenan direkam atau dipotret saat menilang pengendara. Ada polisi yang segera pergi dan mengurungkan niatnya menilang begitu mengetahui ada kamera terpasang di kendaraan warga. Bukannya ramah, polisi-polisi itu justru marah ketika tindak-tanduknya disorot kamera warga.

Membandingkan "keramahan polisi di kamera TV" dengan "kemarahan polisi di kamera smartphone warga" memunculkan anggapan bahwa polisi belum sepenuhnya berlaku sebagai penegak hukum yang transparan dan humanis.

Acara-cara TV yang menayangkan keterbukaan polisi tak selaras dengan tindakan di lapangan yang menghapus dan merusak CCTV, serta mengintimidasi warga yang merekam kejadian dengan smartphone.

Barangkali karena di depan kamera TV adegan bisa diolah. Sedangkan dalam CCTV dan kamera warga, adegan tidak bisa dibuat-buat.

Operasi CCTV

Beberapa hari lalu kepolisian mendapat tamparan keras dari anggotanya sendiri. Seorang polisi mencoret-coret mobil dan dinding bangunan di Polres Luwu, Sulawesi Selatan dengan kata-kata berbunyi "Sarang Pungli", "Sarang Korupsi", dan "Raja Pungli". Coretan-coretan itu ditemukan di dinding Satlantas dan Satnarkoba.

Kepolisian memberi penjelasan bahwa anggota yang melakukan aksi pencoretan dinding sedang mengalami gangguan jiwa dan telah dirujuk ke RSJ. Namun, banyak masyarakat meragukannya. Apalagi polisi yang melakukan corat-coret mengaku memiliki bukti yang mendukung.

Kepolisian sebenarnya tak perlu kebakaran jenggot dengan peristiwa tersebut. Kebenarannya mudah diusut dengan CCTV.

Jika tidak ada pungli, kepolisian bisa menunjukkan rekaman CCTV. Aktivitas pelayanan Satlantas dan Satnakorba lazimnya terpantau oleh CCTV. Ada tidaknya tindakan pungli bisa ditelusuri lewat rekaman CCTV.

Pertanyaannya, adakah CCTV terpasang di Polres yang dindingnya dicorat-coret tersebut?

Sangat mencurigakan jika kepolisian tak memiliki rekaman CCTV nya. Patut dipertanyakan seandainya gedung Polres tak dilengkapi CCTV. Sebuah lelucon jika nanti CCTV di layanan Satlantas dan Satnarkoba dinyatakan rusak atau hilang.

Coretan
Coretan "Raja Pungli" di mobil operasional Polres Luwu (foto: kompas.com/Muh. Amran Amir).

Menyusul kejadian di Polres Luwu tersebut, Kapolri perlu menggelar operasi CCTV massal di seluruh kantor polisi mulai dari tingkat polsek, polres, hingga polda. Memastikan setiap kantor dan unit pelayanan kepolisian terawasi oleh CCTV bisa menjadi salah satu cara untuk menguji integritas anggota.  Kalau perlu pos-pos polisi lalu lintas yang tersebar di sudut jalanan juga diperiksa dengan CCTV.

Jika terdapat kantor dan unit pelayanan kepolisian yang tidak dilengkapi CCTV sesuai ketentuan atau terjadi pembiaran untuk tidak melengkapi dengan CCTV yang layak, maka dugaan bahwa polisi mengalami fobia CCTV mendekati kebenaran.

Pada akhirnya bisa dimengerti mengapa instruksi Kapolri masih kurang dipatuhi. Bisa dipahami mengapa polisi nekat menghalangi kerja tim investigasi yang dibentuk langsung oleh Presiden.

Sebab tidak ada satu orang pun yang ditakuti polisi. Tidak takut Kapolri dan tidak pula takut pada Presiden. Polisi kita hanya takut pada satu benda bernama CCTV dan mungkin juga kamera smartphone warga.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun