Kapolri sejauh ini telah disadarkan oleh kenyataan bahwa tugas sekaligus perlawanan di hadapannya sangat berat. Sebagai polisi, ia ternyata tak hanya harus mengurus pelanggaran hukum yang dilakukan oleh masyarakat. Akan tetapi juga harus memberantas kejahatan yang dilakukan oleh orang-orang dan pejabat di dalam markas polisi sendiri. Beberapa di antaranya kemungkinan satu gedung dengannya. Tantangan yang tidak mudah sekaligus penuh risiko.
Kapolri pasti sudah menggunakan banyak cara dan strategi untuk mengatasi manuver dan perilaku-perilaku koleganya. Namun, arahan pribadinya di markas polisi sangat mungkin masih belum cukup membuat sejumlah perwira merasa jera. Malah terkesan ada perlawanan. Itu tampak dari kasus Ferdy Sambo yang sempat dimanipulasi dan dihalang-halangi. Lambannya pengusutan Tragedi Kanjuruhan juga mengindikasikan adanya perlawana atas perintah Kapolri.
Maka saat ucapan dan instruksi Kapolri masih diabaikan, ia kini menggunakan Presiden sebagai senjata pamungkas.
Dengan kata lain, pemanggilan para perwira polisi Jumat kemarin patut diduga bukan hanya inisiatif Presiden Jokowi seorang. Melainkan ada andil ide dari Kapolri.
Melarang para perwira membawa tongkat komando, topi, dan ajudan, serta membawa mereka  dengan bus layaknya penumpang kendaraan umum punya maksud tersirat yang sangat strategis. Kapolri dan Presiden sedang menggiring para perwira untuk merasakan pengalaman bahwa jika mereka tidak segera berubah, maka atribut, seragam, pangkat dan status sebagai polisi tak layak lagi mereka sandang.
Kapolri juga menyebut pemanggilan para pejabat Polri oleh Presiden sebagai bentuk motivasi dan apresiasi. Sebagai motivasi artinya tidak hanya memotivasi para polisi yang dipanggil. Akan tetapi juga menguatkan diri Kapolri sebagai pemimpin kepolisian. Sementara sebagai apresiasi punya arti pada dasarnya menunjukkan bahwa presiden masih percaya dan peduli pada kepemimpinan Kapolri.
Motivasi dan apresiasi tersebut besar pengaruhnya bagi Kapolri. Apalagi beberapa waktu lalu hubungan Kapolri dengan Presiden sempat disorot. Presiden yang tidak menyalami Kapolri dalam sebuah acara dianggap sebagai tanda surutnya kepercayaan pemimpin negara kepada kepolisian sekaligus kekecewaan terhadap Kapolri. Bahkan, sempat berhembus isu perombakan kabinet berikutnya meliputi jabatan Kapolri.
Namun, pemanggilan para perwira ke istana menunjukkan bahwa Presiden masih peduli kepada polisi. Ibarat seseorang yang telah dikecewakan, tapi masih mau bertemu dan memberi nasihat merupakan tanda bahwa orang itu masih menganggap penting orang yang mengecewakannya. Beda halnya apabila seseorang telah dikecewakan dan tak sudi lagi memberi nasihat atau bicara, artinya ia sudah pasrah dan "masa bodo" dengan orang yang telah mengecewakannya.
Pemanggilan para perwira polisi oleh Presiden ke istana kemarin sebenarnya merupakan momentum yang diinginkan dan dinantikan oleh Kapolri. Peristiwa yang menjadi isyarat bahwa Kapolri akan semakin onfire melakukan bersih-bersih. Meski harus pelan-pelan dan bertahap, tapi indikasi itu nyata adanya.
Setelah mengumumkan kasus Teddy Minahasa, Kapolri masih terus bergerak. Tengah malam ia kembali muncul mengiringi penangkapan salah satu bos judi online terbesar yang sempat kabur ke luar negeri.
Apakah itu isyarat bahwa setelah "Jenderal Pembunuh" dan "Jenderal Narkoba", selanjutnya giliran "Jenderal Judi Online"? Ataukah lebih dulu terjaring "Jenderal gas air mata" pemicu Tragedi Kanjuruhan?