Bukan pernyataan, "kami menyesali". Bukan pula pengakuan, "kami salah dan siap dievaluasi". Dan sudah pasti bukan ungkapan penuh kesadaran, "kami akan mengambil tanggung jawab".
Bukan itu semua yang terucap dari mulut sang pejabat utama sepakbola Indonesia.
Ratusan jiwa yang terenggut di tempatnya berdiri saat melakukan konfrensi pers pada Minggu (2/10/2022) malam mungkin hanya dianggap sebagai korban layaknya orang meninggal pada umumnya. Sudah dimakamkan dan selanjutnya didoakan saja.
Untuk apa larut dalam kesedihan. Hidup harus terus berjalan. Begitu mungkin anggapannya.
Maka saat ratusan makam belum kering dan kepedihan masih terlalu pekat, dengan mudah pidato disampaikan tanpa ada getar penyesalan. Yang muncul justru suara yang kurang enak didengar.
"Hadirin sekalian yang berbahagia". Salam itu diucapkan oleh Ketua Umum PSSI saat membuka kata-katanya semalam.
Salam yang lazim dan sudah sering kita dengar sebenarnya. Salam yang biasanya diucapkan dalam sebuah pesta, syukuran, gathering dan jamuan yang dihadiri orang-orang dengan senyum dan perasaan terbaik.
Namun, salam "berbahagia" itu sekarang punya makna baru.
Dalam suasana berkabung pada hari di mana ratusan nyawa melayang, setiap orang sebaiknya memang perlu tetap tegar. Menerima tragedi sebagai ketetapan Tuhan akan mendatangkan kekuatan dan kelapangan hati.
Namun, bukan untuk "berbahagia". Sebab ada empati yang menghubungkan jiwa antara manusia sehingga kesedihan bisa dirasakan bersama. Ada simpati yang menautkan kemanusian di antara orang-orang sehingga tumbuh satu rasa untuk memahami kepedihan.
Maka ketika "salam berbahagia" disampaikan penuh keyakinan di sebuah acara duka cita atas ratusan nyawa, hanya orang-orang pilihan yang bisa merasakannya.