Mohon tunggu...
Hendra Wardhana
Hendra Wardhana Mohon Tunggu... Administrasi - soulmateKAHITNA

Anggrek Indonesia & KAHITNA | Kompasiana Award 2014 Kategori Berita | www.hendrawardhana.com | wardhana.hendra@yahoo.com | @_hendrawardhana

Selanjutnya

Tutup

Bola Pilihan

Industri Sepak Bola yang Serakah, Tak Ada Rating TV yang Seberharga Nyawa Manusia

2 Oktober 2022   19:25 Diperbarui: 2 Oktober 2022   19:51 1416
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Begitu pula laga antara Arema vs Persebaya yang sempat dianjurkan oleh kepolisian untuk digelar pada sore hari, ternyata tetap digelar pada malam hari.

Menyeruak di tengah publik sejak lama bahwa jadwal pertandingan pada malam hari  diatur sedemikian rupa pada waktu prime time demi memaksimalkan pendapatkan iklan dan rating. Terutama untuk laga yang melibatkan tim-tim dengan basis suporter besar. Maka tak heran ada kecenderungan segilintir tim besar sering memainkan laganya pada malam hari.

Penyesuaian jadwal pertandingan sebenarnya bukan hal yang aneh dilakukan. Sejumlah laga internasional dan pertandingan dari liga-liga mapan di dunia pernah melakukannya. Salah satu tujuannya ialah agar para penggemar dari negara-negara dengan zona waktu yang berbeda bisa mendapatkan siaran langsung TV yang lebih ramah.

Namun, liga-liga tersebut memiliki perangkat dan standar penyelenggaraan pertandingan yang baik dan teruji. Stadion-stadionnya punya standar keamanan yang memadai. Aktivitas suporternya pun teredukasi dan terpantau dengan baik.

Satu yang terpenting ialah pertandingan di negara-negara tersebut ditangani oleh otoritas yang profesional dan bertanggung jawab. Sehingga industri sepakbolanya bergerak pada batas-batas yang terkendali.

Komersialisasi sepakbola di negara-negara itu meski sangat intensif tapi tak melupakan aspek utama, yakni kenyamanan dan keamanan. Kapasitas mereka memungkinkan aspek  industri dan komersial sepakbola digulirkan tanpa mengorbankan hal lain yang lebih berharga.

Sayangnya, itu belum dan tak ada di Indonesia. Komersialisasi sepakbola Indonesia cenderung serakah. Industrinya digerakkan oleh mesin peraup uang dengan ambisi mencetak keuntungan tanpa diiringi standar moral, kapasitas dan tanggung jawab yang baik.

Maka yang tersaji ialah pertandingan-pertandingan dengan standar yang rendah. Stadion hanya dianggap sebagai gelanggang pengumpul massa yang membeli tiket. Siaran langsung dijadikan mesin pencetak rating.

Industri dan komersialisasi yang serampangan itu kini harus dibayar mahal justru oleh  mereka yang selama ini menjadi nafas dan nadi sepakbola di akar rumput. Ratusan nama itu tak akan pernah kembali lagi ke keluarganya.

Mesin industri dan komersialisasi sepakbola Indonesia harus disadarkan bahwa rating siaran TV semestinya tidak lebih berharga dibanding nyawa manusia.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bola Selengkapnya
Lihat Bola Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun