"Jika tidak ada sepakbola seharga nyawa seorang manusia, lalu bagaimana menyebut sepakbola Indonesia yang merenggut 182 nyawa hanya dalam semalam?"
Hitam, pekat, dan berdarah.
Wajah-wajah beringas menyerbu lapangan. Jiwa-jiwa yang dikuasai amarah memburu pelampiasan. Tak terima tim yang didukung mengalami kekalahan.
Polisi-polisi mencoba menahan kekacauan. Gas air mata dikeluarkan. Berharap yang beringas bisa dikendalikan.
Namun, stadion yang kurang memenuhi standar keselamatan akhirnya berubah menjadi gelanggang menakutkan penuh kekalutan. Nyawa berjatuhan dari sebuah pertandingan di liga yang tak seberapa kualitasnya.
Kanjurahan, 1 Oktober 2022. Dunia mencatat nama Indonesia ke daftar pencetak tragedi berdarah paling kelam dan memilukan sejak olahraga ini dimainkan umat manusia manusia. Â Jumlah korbannya terbesar kedua dalam sejarah tragis sepakbola dunia.
Sebanyak 182 orang tewas usai kerusuhan suporter pada akhir derby Arema melawan Persebaya. Di antara korban termasuk anak-anak dan aparat polisi.
Entah bagaimana menulis dan menceritakan semua ini.
Indonesia telah gagal menjadi negara sepakbola. Itu sudah pasti. Tapi yang lebih menyedihkan ialah sepakbola menjadi salah satu kegagalan terbesar kita sebagai negara.
Kemanusiaan dalam balutan keramahan yang selama ini didengungkan sebagai wajah Indonesia ternyata sulit ditemukan dalam sepakbola negeri ini. Kisah tentang sepakbola Indonesia justru dipenuhi kegelapan, ketidakwarasan dan ketidakmasukalan.