Lalu polemik soal dana pensiun wakil rakyat yang diberikan seumur hidup, padahal mereka hanya "bekerja" 5 tahun. Itu pun sudah digelimangi gaji dan tunjangan selangit.
Hal yang lebih ironis terjadi di tengah pandemi Covid-19. Ketika banyak orang menderita dan frustasi karena kesulitan ekonomi, DPR justru menganggarkan pengadaan multivitamin untuk anggotanya sebesar Rp2,09 miliar. Tidak cukup itu saja, DPR juga menggunakan uang negara untuk melayani kebutuhan isoman dan karantina wakil rakyat di hotel-hotel mewah.
Dengan hasrat kemewahan semacam itu, sulit mempercayai wakil rakyat benar-benar menolak kenaikan harga BBM. Lagipul selama ini mereka yang lebih sering tidak peka terhadap kesulitan rakyat. Para wakil rakyat bahkan menolak penyitaan aset dan harta koruptor. Padahal, kejahatan korupsi menjadi salah satu sumber kesengsaraan rakyat.
Kenaikan harga BBM memang membebani sebagian masyarakat. Akan tetapi perilaku dan hasrat kemewahan wakil rakyat sebenarnya jauh lebih membebani rakyat.
Bahkan, sekadar untuk pengharum ruangan dan tisu DPR menyedot lebih dari Rp2 miliar per tahun. Untuk mengecat kubah gedung Nusantara, DPR meminta anggaran sampai Rp4 miliar. Dana reses bagi setiap anggota dewan pun beberapa kali mengalami kenaikan. Â
Jadi, apa yang bisa diharapkan dari wakil rakyat yang boros dan suka memuja kemewahan seperti demikian?
Masih banyak lagi beban yang dihadirkan oleh para wakil rakyat. Sebagian di antaranya akhirnya batal dan gagal setelah ketahuan oleh rakyat.
Namun, apa jadinya jika masyarakat tak sampai mengetahuinya? Mungkin pengadaan sejumlah kebutuhan mewah tersebut tetap bergulir. Akan lebih banyak anggaran negara dan uang rakyat yang mengalir untuk "mensubsidi" kemewahan wakil rakyat.
Dengan rekam jejak semacam itu, cukup menggelikan melihat para wakil rakyat berorasi menolak kenaikan harga BBM. Suara-suara mereka terlihat tidak natural saat mengatakan mereka bisa merasakan beban rakyat yang semakin sulit. Poster penolakan kenaikan harga BBM yang mereka bentangkan bahkan terlihat "mulus" dan "mewah".
Di luar gedung DPR, para wakil rakyat berebut microphone untuk berpidato seolah membela dan merasakan kesulitan rakyat. Namun, saat kembali ke dalam gedung mereka akan tetap memboroskan anggaran yang bersumber dari uang rakyat.
Jadi, masihkah layak dipercaya bahwa para wakil rakyat itu memahami beban kesulitan rakyat akibat kenaikan harga BBM?