Pembunuhan Brigadir J oleh persekongkolan jahat Ferdy Sambo akankah membuat banyak polisi dan prajurit enggan ditugaskan sebagai ajudan pejabat?
Beberapa tahun silam, dalam sebuah acara reuni SMA, sejumlah teman membincangkan salah satu alumni yang saat itu menjadi ajudan bupati. Puja-puji ditujukan kepadanya. Rasa salut dan bangga tercermin dari antusiasme teman-teman saat membahas tentangnya. Konon di sekolah, beberapa guru pun sering membanggakan kisah alumni yang menjadi ajudan bupati tersebut untuk memotivasi para adik tingkat kami.
Menjadi ajudan atau pengawal pejabat memang mendatangkan pesona tersendiri. Terutama di mata masyarakat umum yang biasanya mudah kagum pada atribut profesi, seperti seragam dan sebutan pekerjaan yang dianggap "wah".
Tak hanya memesona di mata masyarakat, menjadi ajudan juga membanggakan bagi yang bersangkutan. Sebab pada dasarnya ajudan merupakan orang-orang pilihan. Mereka dipilih oleh institusi yang menaunginya maupun dipilih sendiri oleh pejabat yang ingin dikawalnya.
Seringkali ajudan pun ikut diperlakukan sebagai "orang penting" selama mendampingi pejabat atau atasannya. Dengan kata lain, ada gengsi dan privilese yang didapat seorang ajudan.
Namun, ada satu hal yang lebih berharga dari itu semua. Yakni, menjadi ajudan merupakan berkah yang membentangkan jalan lapang untuk kemajuan karir di masa depan.
Seseorang yang mendapatkan tugas penting sebagai ajudan, berpeluang besar pula mendapatkan "shortcut" yang bisa membuatnya meloncati beberapa anak tangga sekaligus untuk sampai ke jenjang yang lebih tinggi.
Lesatan karir sejumlah mantan ajudan presiden Indonesia menjadi contoh paling jelas untuk menggambarkannya. Beberapa orang yang pernah menjadi ajudan presiden di kemudian hari menduduki jabatan tertinggi.
Salah satu yang paling istimewa ialah Tri Sutrisno. Setelah menjadi ajudan Presiden Soeharto, ia akhirnya menjadi wakil presiden pendamping Soeharto.