Di rumahnya, kakek dan nenek membangun mushola. Namun, di rumah itu pula kakek dan nenek menerima anak-anaknya yang berbeda agama. Ibu saya Islam, Bu De saya Kristen.
Salah satu berkah istimewa yang saya syukuri dan warisi sepanjang usia ini ialah perihal toleransi beragama dan dari mana saya meneladaninya. Bukan sekolah tempat pertama saya belajar toleransi. Bukan tempat ibadah yang menjadi awal mula saya menyerap indahnya perbedaan.
Akan tetapi dari keluargalah saya pertama mengenal dan mendapat pengalaman toleransi secara mendalam. Keluarga merupakan tempat pertama dan utama bagi saya belajar menerima dan menghargai perbedaan yang paling prinsip dalam hidup manusia, yakni memilih agama.
Awalnya saya tidak tahu jika kakek dan nenek yang tegas dalam urusan agama dan ibadah, ternyata menerima salah satu anaknya memeluk agama selain Islam. Ibu juga tidak pernah bercerita sebelumnya tentang perbedaan keyakinan di antara saudara-saudaranya.
Sampai suatu ketika saya menyadari ada kemajemukan di keluarga besar kami. Bu De yang tinggal di Banjarbaru, Kalimantan Selatan ternyata seorang penganut Kristen. Menariknya saya baru mengetahuinya setelah jaringan telepon terpasang di rumah. Saat itu saya masih duduk di bangku SMP.
Adanya telepon di rumah membuat ibu sering menelepon Bu De. Mereka memang sangat akrab. Bahkan, hingga sekarang di antara saudara kandung ibu, Bu De merupakan yang paling dekat dengan keluarga kami. Apalagi ada anak dan cucu Bu De yang juga kuliah di Yogyakarta. Sehingga bertambah bahan obrolan yang bisa dipertukarkan di antara kami.
Dulu lewat telepon rumah Ibu sering mengucapkan selamat Natal kepada Bu De. Begitu pula Bu De akan menelepon ke rumah kami saat Idulfitri.Â
Melalui kebiasaan ibu menelepon Bu De untuk mengucapkan selamat Natal itulah saya menjadi tahu bahwa di keluarga besar kami benar-benar ada yang berbeda agama.
Di luar itu masih banyak obrolan mereka yang bisa saya dengar karena kebetulan telepon rumah kami terpasang di ruang TV. Jadi sambil menonton TV, mau tidak mau saya sering "nguping" pembicaraan antara ibu dan Bu De. Kedekatan mereka pun banyak saya tangkap dari obrolan melalui telepon.
Pernah suatu hari kepada ibu saya bertanya tentang keyakinan yang dianut Bu De. Namun, ibu hanya memberi jawaban singkat bahwa Bu De berpindah keyakinan sejak masih muda. Ibu tak menjelaskan secara detail alasannya. Tidak pula menyinggung soal reaksi kakek dan nenek saat itu.