Ramadan sering dijadikan momentum untuk membersihkan hati dan merapikan diri. Bukan berarti saat bukan bulan Ramadan hati boleh kotor dan diri boleh berantakan. Akan tetapi kesucian Ramadan memberikan motivasi yang besar bagi banyak orang untuk membersihkan dan merapikan hati serta diri masing-masing.
Sebab sehari-hari hati manusia termasuk salah satu bagian yang paling gampang tercemari. Mungkin hampir setiap hari ada kotoran yang menempel di hati. Polutan bernama sifat iri, dengki, sombong, dendam, malas, marah, dan sebagainya mudah menyusup dan mengotori hati. Prasangka, curiga, serakah, tamak, dan lain sebagainya juga sering bersemanyam di hati.
Anehnya, kita sering enggan untuk membersihkannya. Meski kita tahu polutan-polutan tersebut nyata memiliki efek merusak, tapi membersihkannya terasa berat. Akhirnya kita memilih untuk membiarkannya menetap di hati.
Walau kita paham sifat-sifat buruk membuat diri kita berantakan, tapi kita pun enggan untuk mengaturnya ulang. Akhirnya kita membiarkannya tetap berantakan sambil berharap semuanya akan kembali teratur dengan sendirinya.
Mirip kondisinya dengan buku-buku yang saya punya. Selama ini saya meletakkan koleksi buku pribadi di sejumlah ruangan. Ada di kamar depan dan belakang. Ada pula di ruang tengah dan belakang rumah.
Pembagian itu sejak awal ada maksudnya. Buku-buku yang sifatnya sangat personal dan saya anggap istimewa, misalnya karya penulis favorit saya, diletakkan di dalam kamar. Sedangkan buku-buku lainnya saya atur di ruangan tengah dan belakang.
Pengaturannya juga menurut jenis dan kategori buku. Walau saya tak membuat katalog dan label di buku-buku tersebut, tapi buku-buku sejarah, biografi, dan novel, saya atur secara terpisah di dalam rak yang berbeda. Begitu pula buku-buku lainnya.
Sayangnya, saya sering lalai meletakkan kembali buku-buku yang sudah dibaca ke tempatnya semula. Kadang buku di dalam kamar saya bawa berpergian dan saat kembali buku itu saya letakkan begitu saja di ruang tengah atau di rak yang berbeda. Sering pula buku dari ruangan tengah saya bawa ke kamar dan tak dikembalikan ke ruang tengah lagi. Beberapa buku bahkan tertinggal di dalam tas untuk waktu yang lama.
Akibatnya, susunan buku di setiap rak dan di setiap ruang lama-lama menjadi kacau. Buku biografi bercampur dengan novel. Buku fiksi terselip di antara buku-buku non fiksi. Buku sejarah berada di barisan buku traveling. Tak jelas lagi buku mana yang semestinya ada di dalam kamar dan buku apa saja yang seharusnya menempati ruang tengah atau belakang.
Lucunya, meski sudah mengetahui ketidakteraturan tersebut, saya kerap malas untuk mengaturnya ulang. Sering menunda waktu untuk merapikannya lagi seperti sedia kala.
Malas merapikan buku akhirnya membuat saya  juga lupa untuk membersihkannya secara berkala. Akibatnya beberapa buku menguning halamannya. Banyak yang sampulnya berdebu, meski tipis. Apalagi saya termasuk yang kurang suka menyampuli buku dengan plastik. Hampir semua buku saya tak berlapis plastik.