Seringnya ia menggunakan istilah-istilah universal dengan logika yang runut untuk menerangkan esensi ajaran Islam juga menarik.Â
Kapasitas dan keislamannya tentu mampu untuk menerangkan ajaran Islam secara lebih spesifik dan tekstual. Namun, ia lebih memilih perspektif yang lebih inklusif. Sesuai dengan prinsip cinta dan toleransi yang ia gaungkan.
Maka dari itu ia pun tak canggung berinteraksi dan merangkai obrolan bersama para pemuka agama lain. Seperti ditunjukkan dalam salah satu konten terbarunya berjudul "Indonesia Rumah Bersama" di kanal youtube Jeda Nulis.Â
Habib Jafar duduk bertukar pikiran bersama biksu, pendeta, romo, dan penganut kepercayaan. Bukan hendak menggelar debat untuk saling menghakimi. Bukan pula untuk mengadu kelebihan agama masing-masing sambil merendahkan keyakinan lain.
Akan tetapi untuk "ngobrol biasa". Ketika Habib Jafar bertanya tentang keyakinan agama tertentu, ia memberikan kesempatan kepada penganutnya untuk menerangkan ajaran serta keyakinan masing-masing, sambil menggali kebaikan-kebaikan di dalamnya.
Begitu pun ketika Habib Jafar ditanya tentang suatu hal oleh pemuka agama lain. Â Akan ditegaskan olehnya melalui sudut pandang seorang muslim yang dilingkupi sikap menghargai.Â
Maka tak pernah terdengar oleh kita ucapan Habib Jafar yang menyalahkan dan menghakimi pendapat dari lawan bicaranya yang berbeda agama.
Pada satu kesempatan Habib Jafar mengakui rasa kagumannya pada Mahatma Gandhi dan aktivitasnya membaca biografi Paus Fransiskus. Ia tidak sedang membandingkan antar agama.Â
Bukan untuk mencampur berbagai keyakinan. Melainkan berusaha menunjukkan bahwa dalam setiap agama ada kebaikan universal. Dan teladan dari para pemimpin agama mestinya bisa diikuti oleh manusia untuk menciptakan kehidupan bersama yang lebih baik.
Apa yang diajarkan oleh Habib Jafar dengan tetap memegang teguh keyakinan Islam, tapi terbuka untuk mengenal yang berbeda, merupakan moderasi beragama yang dilandasi cinta dan toleransi.
Dengan dua hal itu umat Islam bisa mengamalkan ajaran agamanya secara lebih baik. Sebab keimanan pada dasarnya mengandung nafas cinta. Bukan hanya cinta kepada sesama manusia, tapi juga cinta kepada makhluk-makluk Allah lainnya.