Mohon tunggu...
Hendra Wardhana
Hendra Wardhana Mohon Tunggu... Administrasi - soulmateKAHITNA

Anggrek Indonesia & KAHITNA | Kompasiana Award 2014 Kategori Berita | www.hendrawardhana.com | wardhana.hendra@yahoo.com | @_hendrawardhana

Selanjutnya

Tutup

Tradisi Artikel Utama

Tetap "Nyekar" Jelang Ramadan, Walau Harga Bunga Tabur Naik "Ugal-ugalan"

1 April 2022   14:08 Diperbarui: 1 April 2022   17:15 2612
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bunga tabur, diburu untuk "nyekar" ke makam menjelang Ramadan (Dokumentasi pribadi).

Berziarah menaburkan bunga atau "nyekar" ke makam keluarga sudah menjadi tradisi sebagian masyarakat Indonesia setiap menjelang Ramadan. Berkah pun dirasakan para penjual bunga tabur. Meski harganya naik 2 kali lipat, bunga tabur tetap laku diburu.

Pagi yang cerah pada Sabtu (26/3/2022) itu. Harum mawar langsung menyergap menyambut saya di trotoar. Wanginya menusuk hidung. Bercampur dengan wangi kelopak dan mahkota beberapa kembang lainnya membuat aroma pagi lebih semerbak.

Beberapa wanita sibuk membungkus bunga tabur menggunakan daun pisang. Satu bungkus kecil seharga Rp4000 tersebut cukup laris . Isinya pun macam-macam. Ada yang hanya campuran mahkota mawar merah dan putih. Ada yang ditambah melati. Ada pula yang bercampur kenanga.

Pada dasarnya pembeli bebas memilih bunga tabur sesuai keinginan atau kebutuhan. Ingin mawar saja boleh. Ingin yang merah dicampur kenanga silakan. Mau kenanga saja pun dilayani. Fleksibel saja.

Namun, soal harga kurang fleksibel. Harga satu bungkus kecil bunga tabur tidak bisa ditawar lagi. Tiga orang penjual bunga tabur di lokasi ini semuanya mematok harga yang sama. Seolah kompak menjelang Ramadan seiring banyaknya orang yang membutuhkan bunga tabur untuk "nyekar", "nyadran", maupun ziarah makam biasa.

Saya sempat bimbang karena hendak membeli agak banyak pagi itu. Pasti harganya juga melonjak mengikuti kelipatan Rp4000.

Ternyata benar adanya. Satu plastik besar bunga tabur yang saya inginkan dipatok seharga Rp50.000. Lumayan terkejut saat mendengar penjual menyebutkan harganya. Jauh melampaui harga biasa sebelumnya yang hanya Rp30.000.

Apa boleh buat, harga bunga tabur juga mengikuti mekanisme pasar seperti minyak goreng. Bedanya, tak ada mafia bunga tabur. Siapa pula yang berminat menimbun atau mengekspornya secara gelap ke luar negeri?

Walau demikian saya berhasil menawar. Mungkin karena saya berbahasa Jawa dan aksen Jawa saya dipastikan tidak dibuat-buat sehingga penjual memberi diskon Rp10.000. Bahkan, ia sempat memberi tambahan sedikit mahkota mawar putih saat mengetahui saya hendak "nyekar" ke makam kakek dan nenek.

"Nyekar" memang sudah menjadi tradisi atau kebiasaan saya menjelang Ramadan. Bahkan, hari-hari pertama Ramadan biasanya masih banyak orang yang datang ke pemakaman untuk berziarah. Hal serupa akan kembali dilakukan saat lebaran. Usai salat Idulfitri, orang-orang akan datang lagi untuk "nyekar".

Bisa dikatakan "nyekar" merupakan tradisi yang punya makna spiritual dan budaya. Belum tenang rasanya jika Ramadan atau lebaran tak sempat menjenguk makam untuk mendoakan keluarga yang telah tiada.

Namun, "nyekar" menjelang Ramadan sedikit berbeda. Sebab saya perlu melakukannya bersamaan dengan tradisi "nyadran" yang selalu digelar di pemakaman umum tempat kakek dan nenek saya dikebumikan di Wedi, Klaten.

Memang, "nyekar" bisa dilakukan kapan saja dan tak harus berbarengan dengan "nyadran". Akan tetapi saat "nyadran" ada kegiatan membersihkan makam yang sama pentingnya dengan berziarah itu sendiri.

Satu bungkus harganya Rp50.000 (Dokumentasi pribadi).
Satu bungkus harganya Rp50.000 (Dokumentasi pribadi).
Kembali ke soal bunga tabur. Saya membeli lumayan banyak karena tidak hanya makam kakek dan nenek yang perlu diziarahi. Makam saudara dan anggota keluarga yang masih satu keturunan buyut juga perlu didatangi. Walau banyak di antara mereka tidak saya kenal dan tak pernah saya jumpai wajahnya saat mereka masih hidup. Bahkan, nenek saya sudah tiada saat saya belum lahir.

Seolah semua sudah disiapkan sejak saya kecil. Dulu setiap berziarah ke makam kakek dan nenek, saya selalu ditunjukkan letak makam-makam saudara lainnya. Sembari dijelaskan nama dan silsilah keluarga yang sejujurnya sulit saya hafalkan hingga sekarang.

Satu yang jelas ada banyak anggota keluarga besar yang makamnya berdekatan. Meski sebenarnya ada yang merupakan "keluarga jauh", tapi budaya Jawa menganggap semua yang masih terikat dalam satu "trah" sebagai saudara dan keluarga. Dengan kata lain kami juga perlu "nyekar" ke makam mereka.

Oleh karena itu saat "nyekar" saya tak hanya menabur bunga di makam kakek, nenek, dan saudara dekat. Bunga-bunga juga saya taburkan ke atas makam saudara satu "trah" yang kebetulan dimakamkan di tempat yang sama.

Banyaknya masyarakat yang masih menjalankan tradisi "nyekar" sudah tentu menghadirkan berkah bagi sejumlah orang. Yakni, penjual bunga tabur. Sebab "nyekar" sebagai fenomena spiritual dan budaya, juga bersinggungan dengan urusan ekonomi.

Ibu Wati, penjual bunga tabur yang saya datangi pagi itu mengaku bisa mengantongi sampai Rp200.000 per hari dalam seminggu terakhir. Omzet tersebut jarang dinikmatinya pada hari-hari biasa.

Ia bersyukur sudah banyak pembeli berdatangan sejak pagi. Padahal harga bunga tabur naik sampai 100%. Satu bungkus kecil bunga tabur yang dijual Rp4000, misalnya, pada hari biasa hanya seharga Rp2000. "Alhamdulillah, bisa nebus (minyak goreng) Bimoli", jawabnya ceria.

Penjual bunga tabur, omzetnya naik menjelang Ramadan sampai Idulfitri nanti (Dokumentasi pribadi).
Penjual bunga tabur, omzetnya naik menjelang Ramadan sampai Idulfitri nanti (Dokumentasi pribadi).
Memang inilah keistimewaan tradisi "nyekar". Meski harga bunga tabur naik lumayan tinggi, masyarakat seolah tidak keberatan. Tak ada protes, apalagi menuntut hargannya diturunkan.

Bunga tabur tetap diburu. Sebab selain wanginya diperuntukkan kepada keluarga dan saudara yang telah tiada, juga karena harumnya turut menghadirkan kebahagiaan bagi orang-orang seperti Ibu Wati yang harus bersusah payah mendapatkan minyak goreng murah saat ini.

Tak apa sesekali bunga tabur melonjak harganya agak "ugal-ugalan". Yang penting tidak langka dan tidak perlu antre. Jangan sampai (wangi) bunga tabur ikut-ikutan menghilang.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Tradisi Selengkapnya
Lihat Tradisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun