Penggemarnya banyak. Harga seporsinya bisa setara dengan ayam goreng. Begitulah kulit ayam memberi dua kemungkinan efek samping di lidah: bikin nagih atau overrated.
Seporsi kulit ayam goreng saya bawa pulang kemarin sore (21/12/2021). Dengan harga Rp14.000 sudah termasuk nasi, sambal tomat, dan lalapan yang terdiri dari kobis, mentimun, dan daun kemangi.
Sebenarnya jarang saya memilih menu khusus kulit ayam. Sebab selama ini setiap membeli ayam goreng, saya sudah merasa cukup dengan sisa kulit yang melekat pada dagingnya. Kalau kebetulan dalam sepotong daging ayam itu ada kulitnya yang renyah dan gurih, saya akan menyantapnya dengan senang. Kalau tidak ada pun tidak masalah.
Akan tetapi kali ini saya memilih kulit ayam. Sesekali ikut menyemarakkan tren kuliner kekinian yang di media sosial sering digelorakan dengan embel-embel "viral", "hidden gem", dan sebagainya.
Seporsi kulit ayam yang saya dapatkan tidak terlalu banyak jumlahnya. Namun, tampak menggugah selera. Lembaran-lembaran kering kulit ayam yang telah digoreng memunculkan warna coklat yang merata. Tidak terlihat gosong.
Ketika digigit, teksturnya yang renyah segera remuk di mulut. Gurihnya biasa saja. Tidak terlalu kuat. Yang "nendang" justru sambal tomatnya. Tidak pedas, tapi membuat kulit gorengnya semakin sedap disantap.
Campurkan saja semua sambalnya dengan nasi. Dalam satu suapan satukan dengan kulit goreng dan cocol dengan lalapannya yang segar. Mantap rasanya.
Bagi saya kulit goreng ini rasanya termasuk kategori lumayan. Tidak terlalu mengecewakan. Walau kalau dipikir lagi agak "overrated". Sebab dengan harga yang sama, sepotong ayam goreng atau ayam geprek bisa didapatkan.
Soal perbandingan harga tentu bisa diperdebatkan. Kita yang selama ini memandang daging ayam lebih bernilai akan menganggap kalau kulit ayam lebih murah dan tidak akan lebih mahal dibanding dagingnya. Kira-kira "kedudukan" kulit ayam setara dengan ceker, kepala ayam, atau hati dan ampela.
Akan tetapi bagi para penggemar kulit ayam, faktor selera telah menempatkan kulit ayam sama nikmatnya dengan daging ayam. Bahkan, lebih nikmat dari bagian-bagian lain pada ayam. Kulit ayam goreng yang renyah, gurih, dan memiliki tekstur unik di lidah memberi efek "ketagihan" yang tiada bandingannya. Oleh karena itu, harap dimaklumi kalau harga seporsi kulit goreng bisa sama dengan daging ayam. Bahkan, di beberapa tempat menu kulit ayam setelah ditambahi beberapa pelengkap menjadi lebih mahal dibanding ayam goreng.
Faktor lain yang membuat kulit ayam naik kasta ialah kekuatan  media sosial yang kadang diamplifikasi dengan beberapa gimmick. Jangankan kulit ayam, segelas es teh yang sebenarnya biasa pun bisa menjadi sangat istimewa dengan polesan promosi ala media sosial.
Tren kuliner kulit ayam tidak bisa dilepaskan dari faktor tersebut. Maka tak heran dalam beberapa tahun terakhir pamor kulit ayam sangat melejit. Kulit ayam naik kasta. Efeknya banyak penjual ayam goreng, mulai dari kelas warung tenda hingga gerai cepat saji menyediakan menu kulit ayam secara terpisah.
Menariknya, beberapa kali mampir ke warung ayam goreng  saya lihat banyak orang lebih memilih kulit ayam goreng dibanding ayam goreng. Kebanyakan dari mereka ialah anak-anak muda.
Tentu saja sebagian dari mereka merupakan konsumen setia media sosial yang kemudian menjadi konsumen kulit ayam goreng karena tak mau ketinggalan tren kuliner kekinian. Sebagian lagi memang penggemar kulit ayam yang akhirnya menemukan tempat untuk memuaskan hasratnya. Sedangkan sebagian lagi merupakan penggemar ayam goreng yang biasanya senang memisahkan kulitnya untuk dinikmati terakhir.
Terakhir, mungkin juga ada sebagian yang merasa cukup menikmati kulit ayam sekali saja. Lebih baik kembali ke selera asal. Menyantap ayam goreng dengan sedikit kulitnya yang masih melekat sudah lebih dari cukup.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H