Mohon tunggu...
Hendra Wardhana
Hendra Wardhana Mohon Tunggu... Administrasi - soulmateKAHITNA

Anggrek Indonesia & KAHITNA | Kompasiana Award 2014 Kategori Berita | www.hendrawardhana.com | wardhana.hendra@yahoo.com | @_hendrawardhana

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Omicron Menyapa Indonesia, Judul Baru dengan Cerita Lama

18 Desember 2021   08:39 Diperbarui: 19 Desember 2021   02:31 1525
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dua hari usai Menteri Kesehatan mengumumkan  virus Covid-19 varian Omicron telah terdeteksi di Indonesia, tingkat kewaspadaan masyarakat tampak tidak banyak berubah. Memang tidak ada kecemasan berlebihan, tapi juga tidak menunjukkan sikap peduli untuk mengetatkan protokol kesehatan.

Pelonggaran yang telah dinikmati sejak beberapa bulan silam terlanjur nyaman untuk diteruskan. Kisah kelam Juni-Agustus 2021 telah dilupakan.

Masker semakin mudah dilepaskan. Termasuk di masjid-masjid yang semakin penuh, tanpa jaga jarak dan wadah sabun cuci tangan dibiarkan kosong tak terisi lagi.

Penjual soto yang selama beberapa bulan terlihat patuh menggunakan masker, sekarang tak lagi memakainya. Sementara di beberapa fasilitas pelayanan umum meski masih tertempel kertas berisi peringatan: "Hanya melayani masyarakat yang menggunakan masker", faktanya orang-orang tanpa masker tetap dilayani.

Begitu pula orang-orang di jalanan yang tak canggung berkendara tanpa masker. Sebab razia masker sudah tidak ada lagi. Rupanya harga masker yang sudah murah telah membuat banyak orang memandangnya sebagai barang murahan.

Sementara prosedur check in dengan kode respon cepat (QR Code) di beberapa tempat tidak lagi ketat. Tak ada petugas yang biasanya berjaga untuk memastikan pengunjung telah memindai kode dengan benar. Semuanya diserahkan pada "kesadaran masing-masing".

Kondisi demikian menandakan bahwa meski virus Covid-19 terus bermutasi cepat, tapi perilaku sebagian masyarakat tidak ikut bermutasi atau lambat berubah. Oleh karena itu, meski judul-judul berita di banyak media hari ini mengangkat pembahasan varian baru Omicron, kita akan tetap menyaksikan cerita-cerita lama yang sama.

Cerita tentang orang-orang yang tidak percaya Covid-19 dan membangkitkan lagi teori-teori konspirasi yang sebenarnya telah mulai reda. Omicron akan jadi bahan pembenaran terbaru untuk menyuguhkan narasi bahwa skenario "mengcovidkan" orang-orang akan dimulai lagi. Ambulan-ambulan akan menyalakan sirinenya lagi untuk menakuti masyarakat. Berita-berita seputar Covid-19 akan dinaikkan lagi.

Seiring dengan itu bisnis PCR dan antigen akan kembali menggeliat. Vaksin Covid-19 akan semakin banyak dipesan. Keuntungan-keuntungan baru siap dihitung.

Untuk yang satu ini menjadi tantangan tersendiri di Indonesia. Sebab masyarakat terlanjur marah oleh terungkapnya fakta bahwa sejumlah pejabat dan menteri ternyata terlibat dalam bisnis pengujian PCR selama pandemi.

Ketidakpercayaan masyarakat terhadap integritas pejabat yang berbisnis PCR mempersulit upaya untuk membangkitkan kewaspadaan terhadap ancaman Omicron.

Sebaliknya, menguat anggapan bahwa Omicron akan menjadi ladang bisnis baru seperti yang sudah-sudah. Dampaknya orang-orang akan enggan untuk melakukan tes serta mengabaikan imbauan agar tidak bepergian dan berliburan akhir tahun.

Cerita lama tentang orang-orang yang meremehkan Covid-19 sebagai "flu biasa" akan kembali mengiringi Omicron. Apalagi setelah sejumlah kasus infeksi Omicron ternyata memperlihatkan gejala yang cenderung lebih mirip dengan flu dan pilek.

Meski perkembangan Omicron masih membutuhkan pemantauan lebih detail, akan ada banyak orang yang segera menjadikan gejala ringan Omicron sebagai pembenaran untuk mendukung keyakinan bahwa Covid-19 pada dasarnya memang flu biasa yang telah dibesar-besarkan.

Varian Omicron ternyata juga menghidupkan lagi cerita lama tentang manajemen kebijakan pemerintah yang kurang mantap. Kita sudah menyaksikan bagaimana pemerintah tiba-tiba membatalkan rencana penerapan PPKM Level 3 di semua wilayah. Sebagai gantinya ialah PPKM Nataru yang diserahkan kepada masing-masing daerah.

Padahal, pengalaman telah menunjukkan bahwa selama ini banyak pemerintah daerah yang kurang serius menangangi pandemi. Menteri Kesehatan bahkan pernah mengungkap adanya daerah-daerah yang sengaja mengurangi tes dan pelacakan kasus Covid-19. Banyak kepala daerah yang tidak mengawal kebijakan pemerintah pusat dengan baik.

Maka dengan menyerahkan kebijakan PPKM Nataru kepada masing-masing daerah di tengah ancaman penyebaran Omicron, pemerintah seolah tidak belajar dari pengalaman.

Meski meminta masyarakat waspada, pemerintah justru terkesan kurang serius melakukan mitigasi risiko. Itu tampak antara lain dari saling silang pendapat soal aturan karantina. Sulit dipercaya bahwa Kementerian Kesehatan dan Satgas Covid-19 memiliki pemahaman yang berbeda terkait ketentuan karantina.

Saat Kementerian Kesehatan menegaskan bahwa ketentuan karantina terpusat bagi pelaku perjalanan luar negeri berlaku bagi semua orang, Satgas Covid-19 justru memberikan  toleransi dan keleluasaan bagi pejabat untuk memilih cara karantina mandiri di rumah sendiri.

Ketika Kementerian Kesehatan menegaskan soal pelanggaran hukum bagi yang tak patuh karantina, Satgas Covid-19 justru berpendapat bahwa sanksi untuk pejabat yang melanggar karantina belum diatur. Diskriminasi aturan untuk masyarakat biasa dan pejabat membuktikan bahwa mitigasi risiko tidak dijalankan dengan baik.

Ketidakpaduan para pelaksana kebijakan seperti di atas mengingatkan kita pada buruknya komunikasi antar kementerian dan lembaga pada awal pandemi Covid-19 tahun 2020. Perbedaan pendapat semacam itu mengulangi cerita lama tentang ego sektoral yang menjadi penghambat penanganan pandemi di Indonesia.

Di tengah ketidakpedulian masyarakat terhadap ancaman Omicron, kita perlu mengingat lagi pengalaman buruk sebelumnya. Sebab saat semua pihak didera rasa aman semu karena keyakinan telah tercapainya herd immunity secara alami, di situlah Omicron yang mungkin kurang berbahaya berubah menjadi lebih berbahaya.

Masyarakat yang abai, pemerintah daerah yang kurang serius, dan pelaksana kebijakan yang tidak padu. Kita sudah menyaksikan dampak buruk dari kombinasi tiga hal itu dalam ledakan varian delta pada periode Juni-Agustus 2021. Sekarang ketiga hal itu tampaknya sedang terulang.

Walau demikian, semoga cerita lama tentang lonjakan kasus positif Covid-19 yang membawa nestapa tidak terulang lagi. Jangan biarkan Omicron menghukum Indonesia untuk yang kesekian kali.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun