Sebaliknya, menguat anggapan bahwa Omicron akan menjadi ladang bisnis baru seperti yang sudah-sudah. Dampaknya orang-orang akan enggan untuk melakukan tes serta mengabaikan imbauan agar tidak bepergian dan berliburan akhir tahun.
Cerita lama tentang orang-orang yang meremehkan Covid-19 sebagai "flu biasa" akan kembali mengiringi Omicron. Apalagi setelah sejumlah kasus infeksi Omicron ternyata memperlihatkan gejala yang cenderung lebih mirip dengan flu dan pilek.
Meski perkembangan Omicron masih membutuhkan pemantauan lebih detail, akan ada banyak orang yang segera menjadikan gejala ringan Omicron sebagai pembenaran untuk mendukung keyakinan bahwa Covid-19 pada dasarnya memang flu biasa yang telah dibesar-besarkan.
Varian Omicron ternyata juga menghidupkan lagi cerita lama tentang manajemen kebijakan pemerintah yang kurang mantap. Kita sudah menyaksikan bagaimana pemerintah tiba-tiba membatalkan rencana penerapan PPKM Level 3 di semua wilayah. Sebagai gantinya ialah PPKM Nataru yang diserahkan kepada masing-masing daerah.
Padahal, pengalaman telah menunjukkan bahwa selama ini banyak pemerintah daerah yang kurang serius menangangi pandemi. Menteri Kesehatan bahkan pernah mengungkap adanya daerah-daerah yang sengaja mengurangi tes dan pelacakan kasus Covid-19. Banyak kepala daerah yang tidak mengawal kebijakan pemerintah pusat dengan baik.
Maka dengan menyerahkan kebijakan PPKM Nataru kepada masing-masing daerah di tengah ancaman penyebaran Omicron, pemerintah seolah tidak belajar dari pengalaman.
Meski meminta masyarakat waspada, pemerintah justru terkesan kurang serius melakukan mitigasi risiko. Itu tampak antara lain dari saling silang pendapat soal aturan karantina. Sulit dipercaya bahwa Kementerian Kesehatan dan Satgas Covid-19 memiliki pemahaman yang berbeda terkait ketentuan karantina.
Saat Kementerian Kesehatan menegaskan bahwa ketentuan karantina terpusat bagi pelaku perjalanan luar negeri berlaku bagi semua orang, Satgas Covid-19 justru memberikan  toleransi dan keleluasaan bagi pejabat untuk memilih cara karantina mandiri di rumah sendiri.
Ketika Kementerian Kesehatan menegaskan soal pelanggaran hukum bagi yang tak patuh karantina, Satgas Covid-19 justru berpendapat bahwa sanksi untuk pejabat yang melanggar karantina belum diatur. Diskriminasi aturan untuk masyarakat biasa dan pejabat membuktikan bahwa mitigasi risiko tidak dijalankan dengan baik.
Ketidakpaduan para pelaksana kebijakan seperti di atas mengingatkan kita pada buruknya komunikasi antar kementerian dan lembaga pada awal pandemi Covid-19 tahun 2020. Perbedaan pendapat semacam itu mengulangi cerita lama tentang ego sektoral yang menjadi penghambat penanganan pandemi di Indonesia.
Di tengah ketidakpedulian masyarakat terhadap ancaman Omicron, kita perlu mengingat lagi pengalaman buruk sebelumnya. Sebab saat semua pihak didera rasa aman semu karena keyakinan telah tercapainya herd immunity secara alami, di situlah Omicron yang mungkin kurang berbahaya berubah menjadi lebih berbahaya.