Mohon tunggu...
Hendra Wardhana
Hendra Wardhana Mohon Tunggu... Administrasi - soulmateKAHITNA

Anggrek Indonesia & KAHITNA | Kompasiana Award 2014 Kategori Berita | www.hendrawardhana.com | wardhana.hendra@yahoo.com | @_hendrawardhana

Selanjutnya

Tutup

Nature Pilihan

Demi Bumi agar Tetap Nyaman Dihuni: Kurangi yang Dibutuhkan, Tolak yang Tak Diperlukan

22 Oktober 2021   21:01 Diperbarui: 22 Oktober 2021   21:03 500
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kampung Code di Yogyakarta (dok.pribadi).

Menjadi penyumbang emisi tidaklah membanggakan. Sudah seharusnya manusia menjadi kontributor solusi untuk bumi.

Beberapa hari belakangan suhu udara di Yogyakarta terasa lebih panas dari biasanya.  Padahal musim hujan telah tiba. Agak aneh saat langit sering mendung, tapi manusia di bawahnya merasa kepanasan.

Sebenarnya ini bukan sesuatu yang baru. Dalam beberapa tahun terakhir sengatan suhu yang panas telah berulang kali terasa. Bukan hanya di Yogyakarta, tapi juga di daerah-daerah lain di Indonesia serta tempat-tempat lain di bumi.

Isyarat Tidak Mengenakkan

Menurut BMKG, tren kenaikan suhu udara sudah berlangsung selama 30 tahun terakhir. Namun, kenaikan suhu kali ini lebih terasa karena alih fungsi lahan yang meluas serta meningkatnya gas rumah kaca.

Saya mencoba menengok sekitar. Kawasan utara kampus UGM yang beberapa tahun lalu masih banyak dijumpai sawah dan kebun, kini sesak oleh barisan apartemen dan hunian baru. Sementara lalu lintas semakin padat karena jumlah kendaraan terus bertambah. Bisa dipastikan banyak emisi yang dilepaskan dan sebagian menguap begitu saja ke atmoster hingga membentuk perangkap rumah kaca.

Bagi saya itu sudah cukup sebagai isyarat tidak mengenakkan tentang masa depan bumi dan kehidupan di dalamnya. Dampak perubahan iklim akibat lonjakan emisi karbon semakin terasa.

Maka, butuh respon yang tepat dan cepat untuk menyelamatkan bumi. Tentu respon yang diharapkan bukan memperbanyak kipas angin atau menambah AC agar suhu menjadi sejuk.

Bukan Mustahil

Jalan keluarnya ialah mendorong Net-Zero Emissions atau Emisi Nol Bersih. Bukan berarti menghentikan emisi sama sekali. Sebab aktivitas manusia akan selalu memproduksi emisi. Bernafas pun manusia mengeluarkan karbon dioksida.

Alih fungsi lahan di Sumatera dilihat dari pesawat (dok.pribadi).
Alih fungsi lahan di Sumatera dilihat dari pesawat (dok.pribadi).
Emisi Nol Bersih sebaiknya dipahami sebagai upaya menurunkan jumlah emisi serta mengkompensasi emisi yang diproduksi oleh aktivitas manusia sampai tingkat paling rendah. Emisi karbon harus bisa diserap sepenuhnya sehingga tak ada yang mencemari atmosfer.

Dengan pemahaman tersebut, Net-Zero Emissions bukan lagi sesuatu yang mustahil. Setiap orang pun bisa berperan untuk mewujudkannya.

Setiap Orang adalah Penyelamat Bumi

Ada 2 alasan logis mengapa tidak bisa lepas tangan untuk ikut menurunkan emisi karbon. Pertama, dunia internasional sudah menyadari pentingnya mencapai Emisi Nol Bersih pada 2050.

Demikian pula Indonesia memiliki target tahun 2060 dengan menetapkan sejumlah agenda. Antara lain mengurangi ketergantungan pada energi fosil, mendorong transisi energi bersih melalui optimalisasi Energi Baru Terbarukan (EBT), meningkatkan efisiensi listrik, mendorong transportasi massal ramah lingkungan, dan merawat ekosistem alam.

Namun, eksekusinya belum terlalu progresif. Sejumlah dilema dan tantangan dihadapi Indonesia. Mulai dari pertumbuhan ekonomi, besarnya investasi yang dibutuhkan, ketergantungan pada batubara untuk PLTU, hingga realiasi bauran EBT yang masih rendah.

Itu mengindikasikan bahwa mewujudkan Emisi Nol Bersih tidak bisa dilakukan hanya oleh satu pihak. Peran setiap individu masyarakat sangat diperlukan.

Hutan, penyerap alami emisi karbon (dok. pribadi).
Hutan, penyerap alami emisi karbon (dok. pribadi).
Kedua, manusia dan aktivitasnya merupakan kontributor utama emisi karbon. Peralatan yang kita gunakan sehari-hari juga dibuat melalui serangkaian proses yang pada tiap tahapannya menghasilkan emisi.  Bahkan, laporan Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) pada 2007 menyebutkan aktivitas manusia menyumbang 90% pada perubahan iklim.

Karena emisi karbon terkait erat dengan aktivitas manusia, maka sebenarnya manusia juga punya kekuatan untuk menekan jumlah emisi. Caranya dengan mengubah kebiasaan sehari-hari sehingga setiap orang bisa menjadi penyelamat bumi.

Kurangi yang Dibutuhkan, Tolak yang Tak Diperlukan

Banyak cara bisa kita lakukan untuk membuat bumi tetap nyaman dihuni lewat skenario Net-Zero Emissions. Lewat kebiasaan-kebiasaan sederhana kita bisa menekan emisi karbon. Prinsipnya ialah mengurangi kebutuhan yang berpotensi memproduksi banyak sampah atau emisi serta menolak sesuatu yang tidak diperlukan.

Berikut ini beberapa kebiasaan yang terus saya upayakan secara konsisten untuk mengurangi emisi karbon dalam kegiatan sehari-hari.

Pertama, jangan malu membawa totebag dan kotak makan. Bagi saya plastik tidak harus selalu dipandang jahat sepenuhnya. Untuk penggunaan tertentu plastik masih memiliki manfaat. Misalnya, sayur dan buah akan terjaga kesegarannya jika dikemas secara benar menggunakan plastik. Dengan demikian tidak cepat busuk dan terbuang sebagai sampah. Sedangkan sampah organik dari buah dan sayur termasuk penyumbang emisi karbon dari gas metana.

Di sisi lain sampah plastik sudah terlampau banyak, butuh waktu sangat lama untuk terurai dan menyumbang emisi karbon yang tinggi. Maka saya memilih mengurangi kebutuhan plastik ketika saya bisa menggunakan penggantinya yang lebih baik.

Selama ini saya selalu membawa totebag atau tas kain ke manapun pergi. Sering saya membawa 2 totebag sekaligus. Selain berfungsi sebagai wadah buku dan payung, totebag juga selalu saya gunakan untuk wadah belanja. 

Beberapa kasir di supermarket langganan telah hafal dengan kebiasaan saya ini. Saya pun selalu mengatakan hal yang sama ketika tiba di kasir: "Nggak usah pakai plastik, ya".

aya juga senang membawa kotak makan dan tempat minum sendiri. Kadang kotak itu sudah terisi bekal dari rumah. Namun, seringkali saya mampir ke warung untuk mengisinya.

Totebag, pengganti kantung plastik (dok.pribadi).
Totebag, pengganti kantung plastik (dok.pribadi).
Kebiasaan tersebut sempat menarik perhatian orang tua saya yang menganggap aneh seorang pria dewasa suka membawa kotak makan sendiri. Padahal saya hanya melanjutkan kebiasaan yang telah mereka ajarkan sejak kecil lewat bekal makanan untuk ke sekolah. Saya tak malu menenteng totebag maupun kotak makan.

Kedua, pesan makanan yang terdekat. Ada kalanya saya memesan makanan melalui ojek daring. Namun, saya selalu menghindari memesan pada jam padat, yakni pukul 12.00-13.00 dan pukul 16.00-17.00. Tidak pula memesan makanan dari tempat yang berada di luar area ringroad. Jaraknya pun saya batasi maksimal 3 km.

Pilihan itu saya ambil berdasarkan pengalaman bahwa pengantaran makanan dari area di luar ringroad menuju kawasan Jalan Kaliurang dan UGM tempat saya berada membutuhkan waktu lebih lama karena faktor jarak tempuh dan kemacetan.

Maka saya lebih senang memesan makanan yang lebih dekat. Selain saya tidak terlalu lama menunggu, pengemudi ojek daring pun bisa menghindari kemacetan dan tidak membuang banyak bahan bakar ketika mengantarkan pesanan saya. Artinya meski memesan makanan secara daring, emisi tetap perlu dipertimbangkan.

Membawa kotak makan sendiri (dok.pribadi).
Membawa kotak makan sendiri (dok.pribadi).
Ketiga, kurangi begadang dan tidur lebih cepat. Sejak SMA saya gemar begadang membaca buku dan menonton siaran sepakbola di TV. Saya sering tertidur saat pertandingan masih berlangsung. Kerap pula membiarkan TV tetap menyala dengan harapan suaranya bisa membangunkan saya lebih pagi.

Namun, sejak 6 atau 7 tahun terakhir saya kehilangan selera untuk begadang. Saya memilih tidur lebih cepat. Selain demi kesehatan, juga untuk lebih menghemat listrik.

Dengan tidur lebih cepat kegiatan menonton TV, bermain smartphone dan browsing sampai larut malam otomatis berhenti. Emisi akibat penggunaan listrik yang tidak diperlukan pun bisa dikurangi. Kini jika tidak ada urusan mendesak, sebelum pukul 22.00 saya sudah tidur dengan kondisi lampu kamar dimatikan. Itu membuat saya lebih lelap.

Hemat listrik (dok. pribadi).
Hemat listrik (dok. pribadi).
Keempat, halaman rumah sebagai ruang kerja. Halaman depan dan samping rumah menjadi tempat favorit saya untuk melakukan beberapa aktivitas. Maka ketika pandemi Covid-19 mengharuskan "work from home", saya bisa memaksimalkan kebiasaan "bekerja dari halaman rumah".

Dibanding di dalam kamar atau ruangan lain, saya lebih senang membawa laptop dan alat tulis ke halaman rumah. Ruangan yang lebih lega dan adanya tanaman penyejuk membuat saya betah.

Halaman rumah jadi ruang kerja (dok.pribadi).
Halaman rumah jadi ruang kerja (dok.pribadi).
Bekerja di halaman rumah tak memerlukan lampu penerang pada siang hari. Tak perlu menghidupkan kipas angin. Tak juga khawatir tergoda untuk menyalakan layar TV. Lagi-lagi saya bisa mengurangi penggunaan listrik yang tidak diperlukan.

Untuk lebih menghemat listrik, sejak beberapa bulan lalu saya juga memasang 2 lampu tenaga matahari di belakang dan samping rumah. Sekarang saya mulai berpikir untuk menambah instrumen sejenis sebagai penerang di beberapa sudut rumah.

Kelima, ikut menjaga alam. Berulang kali masuk hutan untuk melakukan ekplorasi anggrek membuat saya semakin paham manfaat pepohonan sebagai penyerap alami emisi karbon. Hutan yang lestari mampu menyerap 20% emisi karbon. Maka jika hutan rusak, kemungkinan sebanyak 20% pula emisi yang terlepas ke atmosfer dan mempertebal gas rumah kaca.

Mengikuti penghijauan (dok.pribadi).
Mengikuti penghijauan (dok.pribadi).

Maka dari itu beberapa kali saya melibatkan diri dalam kegiatan penghijauan. Senang bisa ikut menanam beberapa benih tanaman sambil berharap kelak semua akan tumbuh menjadi pohon yang rimbun.

Sementara di rumah saya membiarkan beberapa sudut halaman sebagai tempat hidup tanaman. Lingkungan rumah yang lebih sejuk membuktikan bahwa tanaman-tanaman tersebut efektif menyerap emisi karbon sekaligus memproduksi oksigen lewat fotosintesis.

Bagi saya beberapa upaya dan kebiasaan di atas bukanlah balas jasa pada alam atau bumi. Sebab bumi pada dasarnya memberikan berkah kehidupan yang jauh lebih besar dibanding yang kita sadari selama ini. Saya hanya berusaha menjalankan tanggung jawab sebagai penghuni bumi. Lagipula keuntungan merawat bumi akan kembali kepada manusia.

Merawat bumi lewat halaman rumah (dok.pribadi).
Merawat bumi lewat halaman rumah (dok.pribadi).
Bumi akan tetap menghangat akibat perubahan iklim. Sebab emisi yang diproduksi pada masa lalu terlanjur mencemari atmosfer dan bertahan sangat lama. Walau demikian kita bisa mengupayakan agar kenaikan suhunya masih bisa ditoleransi.  

Net-Zero Emissions adalah panggilan bagi kita untuk merawat bumi. Jika masih menghendaki bumi yang nyaman untuk dihuni dan menginginkan keberlangsungan kehidupan generasi mendatang, maka kita sendiri yang harus mengupayakannya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun