"Mboten percoyo Covid, tho Pak?". Pelan saya mengatakannya. Kemudian penjual itu menjawab. "Nggak mas. Watuk pilek kan ono kit mbiyen. Mung orang dipublis gede-gedean". Begitulah ia beralasan bahwa batuk dan pilek sudah ada sejak dulu, tapi tidak dibesar-besarkan seperti sekarang.
Jawaban itu bagi saya sudah cukup menjelaskan banyak hal tentang ketidakpercayaannya pada Corona. Seperti halnya ia menganggap mobil ambulan yang baru saja melintas hanya kosong isinya dan sengaja berputar-putar di jalanan untuk menakut-nakuti masyarakat tentang ancaman Covid-19.
Saya tak bertanya lagi. Waktu yang tersisa saya gunakan untuk menentukan pilihan. "Nggih sampun Pak, mboten wonten pisange". Saya berpamitan seolah tidak ada pisang emas yang saya temukan di sana.
Sebagai seorang penyintas saya telah merasakan bahwa Covid-19 lebih dari sekadar batuk, pilek atau flu biasa. Namun, bukan itu alasan utama yang menggerakkan saya meninggalkan tempat tersebut. Bagi saya penting untuk membatalkan transaksi atau urusan dengan orang yang secara terang-terangan menganggap Covid-19 hanya dongeng.
Kadang semacam sanksi sosial yang tegas perlu kita ambil sendiri terhadap orang-orang yang abai dan menyepelekan ancaman Covid-19. Sudah terlalu banyak korban dan pengorbanan yang bangsa ini relakan selama pandemi Covid-19.
Korban dan pengorbanan tersebut timbul bukan semata karena serangan virus Corona secara langsung, tapi sebagian disebabkan oleh ketidakpedulian manusia untuk melindungi sesamanya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H