Indonesia lahir dari serangkaian perjuangan gagah berani melawan penjajah. Lalu mengapa sekarang kita takut hanya pada coretan kata dan gambar di tembok?
Sudah 76 tahun Indonesia merdeka. Mestinya waktu yang cukup untuk menjadikan kita menjadi semakin berani. Sebab penjajah sudah lama pergi. Diusir oleh para pejuang dan pahlawan negeri.
Tak ada lagi kungkungan yang menjajah raga dan mental. Tak ada lagi deru senapan mesin dan lemparan granat yang mengancam nyawa tanpa henti.
Para pejuang dan pahlawan pendahulu kita sebenarnya juga melawan ketakutan. Sebab kehilangan nyawa akan mengakhiri banyak babak kehidupan.
Walau demikian ketakutan itu mampu mereka hadapi dan kalahkan. Keberanian menghadapi ancaman tumbuh menjadi sikap mental yang menjadikan para pejuang Indonesia sulit ditaklukan.
Kita memang butuh ratusan tahun untuk merdeka. Itu bukan artinya kita lemah sehingga butuh waktu lama untuk mengusir penjajah. Justru itu menunjukkan bahwa para pejuang kita dahulu sangat sulit dikalahkan sehingga penjajah tak mampu menaklukkan negeri ini meski sudah berusaha sangat lama.
Ya, dulu kita merupakan bangsa yang pemberani. Anehnya, setelah puluhan tahun merdeka kita justru semakin sering menampilkan sikap penakut dan lemah,
Melihat tempat ibadah agama lain kita takut. Menyaksikan ritual pemeluk agama lain kita resah. Melihat warung makan di kala puasa, kita lemah. Dan saat mengetahui ada kelompok minoritas yang mampu tampil ke depan, kita merasa terancam.
Sungguh aneh. Setelah lama merdeka dari penjajahan bangsa asing, kita malah takut pada sesuatu yang tidak berbahaya. Takut pada unsur-unsur yang sebenarnya bisa memperkuat kehidupan bersama.
Bahkan, pada untaian kata-kata dan coretan gambar di tembok saja sekarang kita takut luar biasa. Dengan mudahnya kita menerjemahkan sebuah mural sebagai ancaman terhadap negara.
Apakah salah bila rakyat curhat di dinding dengan menulis "dipaksa sehat di negara yang sakit"?
Kenyataannya kita sedang tidak sehat akibat pandemi, korupsi, dan ancaman disintegrasi. Para pejabat kita sendiri bilang bahwa "Indonesia sedang tidak baik-baik saja", terutama karena cekaman pandemi yang berkepanjangan. Masyarakat pun harus berjuang melindungi diri dan sesama agar terhindar dari ancaman Covid-19.
Itu maknanya sama dengan rakyat diminta dan dipaksa atas nama kemanusiaan agar tetap sehat di tengah situasi yang tidak normal.
Jika para pejabat boleh mengatakan, "Indonesia sedang tidak baik-baik saja", mengapa rakyat dilarang curhat, "dipaksa sehat di negara yang sakit?"
Apakah rakyat harus meniru bahasa para pejabat?
Sulit rasanya. Sebab para pejabat dan pemimpin punya banyak fasilitas dan keistimewaan yang membuat mereka lebih terlindungi. Sedangkan bagi rakyat biasa mengakses fasilitas kesehatan dasar pun masih sering tanda tanya.
Kenyataannya selama beberapa bulan terakhir, puluhan ribu nyawa melayang akibat  serangan Covid-19. Sebagian besar di antaranya terjadi di periode di mana layanan kesehatan kolaps sehingga banyak pasien ditolak masuk RS dan tidak mendapatkan perawatan memadai.
Anehnya, para pejabat dan pemimpin dengan entang mengatakan banyaknya pasien meninggal dunia itu karena terlambat datang ke rumah sakit. Oleh karena itu para pejabat meminta agar pasien Covid-19 sebaiknya tidak isolasi mandiri di rumah.
Tentu mudah mengatakan itu. Padahal pasien-pasien itu meninggal bukan karena tidak ingin ke rumah sakit. Mereka sudah berkeliling mencari pertolongan. Namun, ditolak karena kamar rumah sakit sudah penuh. Akhirnya mereka semakin sakit dan saat sakitnya semakin parah mereka "dipaksa untuk segera sehat" dengan berdiam sendirian di rumah.
Kenyataan itulah yang termuat dalam mural "dipaksa sehat di negara yang sakit".
Ironsinya, para pejabat dan aparat kita sulit menerima kenyataan tersebut. Mural berisi kritik dan curhat itu malah dianggap sebagai ancaman dan provokasi.
Sepertinya kita sedang bergerak muncur menjadi bangsa yang penakut, takut mengakui kenyataan. Kita juga sedang mundur menjadi bangsa yang takut untuk menengok kekurangan sendiri. Â Dengan sangat aneh kita takut dan merasa terancam membaca tulisan "404: Not found" di tembok.
Padahal itu merupakan ekspresi rakyat yang sedang mencari dan membutuhkan para pejabat serta pemimpinnya. Sebab dalam banyak krisis dan kegentingan, negara dan para pejabat seolah tidak hadir atau hadir dengan sangat terlambat.
Para masalah intoleransi, korupsi, hingga mahalnya harga masker dan obatan-obatan, rakyat harus lebih dulu menjerit keras-keras di jalanan. Bahkan, kadang harus lebih dulu bentrok dengan aparat baru para pemimpin dan pejabat bertindak.
Semua itu kenyataan. Lalu mengapa kita takut membaca kenyataan tersebut?
Para pejabat dan pemimpin seharusnya tidak usah takut atau merasa terancam citranya oleh coretan-coretan di tembok. Sebab nilai dan harga diri seseorang tidak ditentukan oleh orang lain, melainkan bersumber dan dijaga oleh dirinya sendiri.
Tampaknya kegagalan menjawab kritik dan ketidakmampuan menghadirkan jawaban untuk berbagai curhat atau keluhan rakyat membuat para pejabat dan pemimpin kita menjadi pemarah dan penakut.
Mereka alergi dengan curhat rakyat. Merasa insecure ketika dikritik. Inginnya hanya membaca kalimat-kalimat manis dan mendengar kabar-kabar baik. Kalau demikian berarti kita belum benar-benar merdeka.
Kita pantas cemas bahwa jangan-jangan kita sedang mengalami kemunduran dari bangsa yang pemberani menjadi bangsa yang penakut. Lalu agar tidak dihantui rasa takut, tembok-tembok harus dibersihkan. Coretan-coretan pada mural harus dihapus.
Padahal, yang mestinya dibersihkan ialah baliho-baliho para pejabat yang berserakan di sembarang tempat. Baliho-baliho itu mestinya disingkirkan karena telah menyakiti rakyat.
Para pejabat memasang foto diri yang tersenyum seolah rakyatnya sudah hidup tenang. Salah satu pejabat  merupakan menteri yang juga memimpin komite pemulihan ekonomi dan dampak pandemi. Foto dirinya di baliho yang tampak gagah dengan wajah berseri jelas bertolak belakang dengan kesulitan yang dialami oleh banyak rakyat Indonesia sekarang.
Ada pula baliho ketua DPR yang sangat percaya diri menampilkan wajahnya dengan sinyum simpul. Padahal, beberapa waktu lalu para anggotanya berulah secara ugalan-ugalan dengan meminta fasilitas isolasi mandiri di hotel mewah. Sementara banyak rakyat kesulitan mendapatkan kamar perawatan rumah sakit.
Sepertinya dalam rangka memeriahkan HUT Kemerdekaan RI, perlu ada lomba menghias baliho dan mural khusus untuk menggembirakan para pejabat dan pe
impin kita. Tentu saja aturannya tidak boleh menampilkan pesan, mimik, atau wajah yang memancarkan kesedihan. Â
Dilarang membuat mural yang berisi kritik atau keluhan kepada pemimpin dan pejabat. Mural hanya boleh dihiasi kalimat-kalimat manis dan pujian. Mural wajib mencantumkan kebaikan-kebaikan. Contohnya: "Tak Pernah Sakit di Negara yang Sehat"Â atau "Para Pemimpin dan Pejabat Selalu Ada Untuk Rakyat!".
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H