Ironsinya, para pejabat dan aparat kita sulit menerima kenyataan tersebut. Mural berisi kritik dan curhat itu malah dianggap sebagai ancaman dan provokasi.
Sepertinya kita sedang bergerak muncur menjadi bangsa yang penakut, takut mengakui kenyataan. Kita juga sedang mundur menjadi bangsa yang takut untuk menengok kekurangan sendiri. Â Dengan sangat aneh kita takut dan merasa terancam membaca tulisan "404: Not found" di tembok.
Padahal itu merupakan ekspresi rakyat yang sedang mencari dan membutuhkan para pejabat serta pemimpinnya. Sebab dalam banyak krisis dan kegentingan, negara dan para pejabat seolah tidak hadir atau hadir dengan sangat terlambat.
Para masalah intoleransi, korupsi, hingga mahalnya harga masker dan obatan-obatan, rakyat harus lebih dulu menjerit keras-keras di jalanan. Bahkan, kadang harus lebih dulu bentrok dengan aparat baru para pemimpin dan pejabat bertindak.
Semua itu kenyataan. Lalu mengapa kita takut membaca kenyataan tersebut?
Para pejabat dan pemimpin seharusnya tidak usah takut atau merasa terancam citranya oleh coretan-coretan di tembok. Sebab nilai dan harga diri seseorang tidak ditentukan oleh orang lain, melainkan bersumber dan dijaga oleh dirinya sendiri.
Tampaknya kegagalan menjawab kritik dan ketidakmampuan menghadirkan jawaban untuk berbagai curhat atau keluhan rakyat membuat para pejabat dan pemimpin kita menjadi pemarah dan penakut.
Mereka alergi dengan curhat rakyat. Merasa insecure ketika dikritik. Inginnya hanya membaca kalimat-kalimat manis dan mendengar kabar-kabar baik. Kalau demikian berarti kita belum benar-benar merdeka.
Kita pantas cemas bahwa jangan-jangan kita sedang mengalami kemunduran dari bangsa yang pemberani menjadi bangsa yang penakut. Lalu agar tidak dihantui rasa takut, tembok-tembok harus dibersihkan. Coretan-coretan pada mural harus dihapus.
Padahal, yang mestinya dibersihkan ialah baliho-baliho para pejabat yang berserakan di sembarang tempat. Baliho-baliho itu mestinya disingkirkan karena telah menyakiti rakyat.