Mohon tunggu...
Hendra Wardhana
Hendra Wardhana Mohon Tunggu... Administrasi - soulmateKAHITNA

Anggrek Indonesia & KAHITNA | Kompasiana Award 2014 Kategori Berita | www.hendrawardhana.com | wardhana.hendra@yahoo.com | @_hendrawardhana

Selanjutnya

Tutup

Healthy Pilihan

Jika Vaksin Covid-19 "Gotong Royong" Tetap Dijual, Jokowi Ingkar Janji

12 Juli 2021   08:07 Diperbarui: 12 Juli 2021   15:39 526
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Vaksinasi Gotong Royong Berbayar bisa memunculkan diskriminasi kesehatan dan kesenjangan vaksin yang melanggar prinsip kesetaraan hak warga negara untuk hidup sehat di tengah pandemi. Janji Presiden Jokowi menggratiskan vaksin Covid-19 bagi masyarakat Indonesia telah dilanggar.

Di tengah amukan virus Corona yang sulit dikendalikan dan semakin banyaknya korban meninggal dunia, Indonesia menetapkan jalur vaksinasi Covid-19 untuk individu mulai Senin, 12 Juli 2021.

Vaksinasi melalui klinik Kimia Farma tersebut berlabel Vaksinasi Gotong Royong Berbayar. Pada tahap awal ada 8 klinik Kimia Farma di 6 kota Jawa dan Bali yang melayani vaksinasi berbayar. Selanjutnya bisa diperluas ke berbagai kota yang memiliki jaringan Kimia Farma.

#UPDATE: Kimia Farma akhirnya menunda implementasi Vaksin Berbayar.


Sebelumnya vaksinasi gotong royong lebih dulu diselenggarakan melalui partisipasi sektor swasta untuk para pekerjanya. Namun, kini vaksinasi berbayar bisa diakses pula oleh masyarakat umum berusia 18 tahun ke atas secara mandiri dengan syarat membayar harga dan biaya pelayanan vaksin.

Jenis vaksin Covid-19 yang digunakan ialah Sinopharm. Untuk mendapatkan 2 dosis suntikan vaksin tersebut, setiap orang perlu mengeluarkan Rp879.140.

Dengan kata lain, vaksin Covid-19 kini telah dijual dan tak lagi sepenuhnya gratis bagi  masyarakat.

Bukan Gotong Royong

Pemerintah beralasan vaksin gotong royong berbayar untuk invididu bertujuan untuk membendung gelombang penularan Covid-19 sekaligus mempercepat capaian target herd immunity.

Sekilas itu masuk akal. Sebab sampai 11 Juli 2021 baru 15.011. 348 penduduk Indonesia yang mendapatkan vaksinasi lengkap 2 dosis atau hanya sekitar 8% dari target vaksinasi nasional. Padahal vaksinasi Covid 19 sudah berlangsung sekitar 7 bulan.

Dihadapkan pada penyebaran virus yang semakin cepat dan luas, Indonesia bisa gagal mencapai herd immunity yang efektif sebab vaksinasi yang lambat dan kurang merata tidak akan ampuh untuk membendung laju infeksi Covid-19 yang didorong oleh munculnya banyak varian baru.

Walau demikian label "Gotong Royong" yang disematkan pada vaksinasi berbayar sangat  tidak tepat dan layak dikritik. Dikaitkan dengan UU No. 4 Tahun 1984 tentang Wabah Penyakit Menular, vaksinasi berbayar untuk individu justru mengkhianati prinsip kesetaraan, keadilan, dan tanggung jawab pemerintah dalam menanggulangi wabah.

Dalam UU ditekankan tanggung jawab utama penanggulangan wabah ada di tangan pemerintah yang perlu dipenuhi dalam rangka "meningkatkan kemampuan masyarakat untuk hidup sehat".

Artinya ada tanggung jawab yang seharusnya dimaksimalkan oleh pemerintah untuk mengupayakan sebanyak mungkin masyarakat mampu mendapatkan vaksin secara mudah. Gotong royong oleh segenap masyarakat memang diperlukan, tapi bukan "pelimpahan tanggung jawab pemerintah kepada pihak lain".

Penekanannya ialah "meningkatkan kemampuan masyarakat untuk hidup sehat" yang seharusnya diwujudkan dengan mempermudah dan memperluas vaksinasi gratis terlebih dulu.

Untuk itu pemerintah perlu mengoptimalkan lini pelayanan publik mulai dari klinik desa, puskesmas, kantor polisi, dan sebagainya. Jika vaksinasi gratis saat ini masih terkendala dengan banyaknya antrean, distribusi vaksin, dan minimnya sosialiasi, maka solusinya ialah membenahi manajemen dan strategi pelaksanaannya di lapangan. Bukan dengan menempuh jalan pintas melalui vaksin berbayar.

Perlu diketahui bahwa sejumlah fasilitas kesehatan seperti puskemas sebenarnya memiliki kapasitas yang tinggi, tapi kuota vaksinnya terbatas. Beberapa polsek bahkan hanya mendapatkan jatah vaksin kurang 100 dosis. Akibatnya saat minat warga tinggi, puskemas dan polsek terpaksa menolak permintaan masyarakat.

Percepatan vaksinasi Covid-19 seharusnya lebih dulu dilakukan dengan mengikis kesenjangan di atas. Hambatan birokrasi juga perlu sungguh-sungguh diperbaiki. Persoalan data penerima vaksin yang coba diatasi dengan membebaskan syarat domisili harus dipertegas dan diperjelas. Sebab pada praktiknya banyak daerah dan fasilitas kesehatan yang masih menerapkan syarat domisili atau surat dari desa. (Baca: 2 Kali Gagal Vaksinasi karena Birokrasi, Ibu Saya Akhirnya Ditolong Polisi).

Oleh karena itu, vaksinasi berbayar tidak tepat dilabeli "gotong royong" karena ada tanggung jawab pemerintah yang belum terpenuhi dalam mempermudah dan meningkatkan kemampuan masyarakat dalam mendapatkan vaksin gratis.

Diskriminasi Kesehatan dan Kesenjangan Vaksin

Sayangnya pemerintah termasuk pemerintah daerah seolah tidak mau repot untuk membenahi persoalan seputar vaksinasi. Terutama terkait antrean, keterbatasan kuota, dan sosialisasi.

Bukannya lebih dulu membenahi pokok persoalan secara maksimal, pemerintah justru menerapkan vaksin berbayar untuk individu. Ada kesan kuat diskriminasi kesehatan di tengah pandemi. Seolah "Kalau tidak mau antre dan menunggu kuota, silakan bayar. Kalau mau gratis, harap maklum menunggu lebih lama".

Akan sangat ironis jika saat vaksinasi berbayar diterapkan, hambatan vaksinasi gratis seperti antrean dan kuota tidak bisa teratasi.

Jangan sampai label "Gotong Royong" pada vaksin berbayar untuk individu menjadi pembenaran untuk diskriminasi dan ketidakadilan di tengah pandemi. Sebab kuota 100-500 vaksin yang diberikan kepada setiap klinik Kimia Farma untuk dijual telah mengurangi kesempatan masyarakat umum untuk mendapatkan vaksin gratis.

Mestinya kuota tersebut dialokasikan kepada puskemas atau gerai kepolisian yang masih mampu untuk menyelenggarakan vaksin gratis sehingga penolakan yang dialami banyak masyarakat yang kehabisan kuota bisa diatasi.

Lagipula jika memang pemerintah sungguh-sungguh ingin memperluas jangkauan dan cakupan vaksin melalui apotek atau klinik, mengapa harus menjualnya lewat Kimia Farma? Masih banyak klinik lain di daerah yang bisa digandeng untuk menyelenggarakan vaksinasi gratis.

Keberadaan klinik Kimia Farma yang didominasi di kota-kota besar tidak akan berdampak banyak pada pemerataan akses vaksin di daerah. Hal itu justru semakin memperlebar kesenjangan vaksin antar daerah.


Daripada menjual vaksin lewat Kimia Farma, pemerintah lebih baik mempercepat verifikasi klinik atau apotek di daerah untuk menyelenggarakan vaksinasi gratis. Dengan demikian masyarakat akan memiliki lebih banyak opsi selain datang ke puskesmas, rumah sakit, atau gerai kantor polisi.

Menjual vaksin gotong royong melalui jaringan klinik tertentu hanya akan meningkatkan sikap apatis dan curiga sebagian kalangan yang selama ini menganggap pandemi Covid-19 dimanfaatkan sebagai ladang bisnis oleh segelintir pihak. Akhirnya itu akan semakin memperlemah kepercayaan terhadap pemerintah.

Vaksin (tidak sepenuhnya) gratis |dok. pribadi.
Vaksin (tidak sepenuhnya) gratis |dok. pribadi.
Selama vaksinasi gratis masih belum maksimal diselenggarakan, vaksinasi berbayar akan mencoreng rasa keadilan dan keseteraan yang menjadi hak warga negara untuk hidup sehat. Jika ingin menjual vaksin Covid-19, cukuplah dengan label Vaksin Berbayar. Tidak perlu melabelinya Gotong Royong.

Padahal, presiden pada pertengahan Desember 2020 telah menyampaikan komitmen dan janji pemerintah untuk menyediakan vaksin Covid-19 gratis bagi seluruh masyarakat Indonesia. Semoga ini bukan tanda presiden sedang buntu dalam mengatasi pandemi sehingga memilih melanggar janjinya sendiri.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun