Dua minggu belakangan banyak hal berjejalan di pikiran dan hati saya. Membuat saya agak sulit untuk setenang sebelumnya di tengah amukan Corona yang semakin mengancam.
Beberapa waktu lalu adik saya demam usai disuntik vaksin Covid-19. Ia salah satu penerima vaksin Astra Zeneca di Yogyakarta. Sebagai pegawai sektor pelayanan publik adik saya sebenarnya agak terlambat mendapatkan vaksin. Mungkin karena KTP nya bukan KTP DIY. Awalnya prosedur vaksinasi memang masih memprioritaskan kesesuaian KTP dan domisili. Baru dua minggu terakhir akses vaksin dipermudah bagi setiap warga masyarakat.
Meski sudah bisa dipahami bahwa vaksin akan menimbulkan efek samping, tapi tidak mudah untuk mengendalikan respon kecemasan setelah efek samping itu muncul. Apalagi, demam yang dialami oleh adik saya berlangsung sampai 3 hari.
Saya ikut gelisah. Ia saya minta untuk melapor ke fasilitas kesehatan tempatnya menerima vaksin. Bukan meragukan vaksin Covid-19. Akan tetapi demi mendapatkan informasi mengenai langkah-langkah yang perlu kami ambil jika efek samping vaksin terus dirasakan.
Syukurlah, pada hari keempat kondisinya membaik. Suhu tubuhnya kembali normal dan stabil sepanjang hari.
Walau demikian masih ada kegelisahan lain yang perlu saya atasi. Usai memastikan kondisi adik saya telah pulih, saya pulang kampung untuk menemani ibu mendapatkan vaksinasi.
Saya cukup geram dengan apa yang dialami oleh ibu saya. Ia warga Jawa Tengah yang dua kali gagal divaksin karena masalah birokrasi yang konyol. Sebagai lansia, pada Ramadan lalu ibu mestinya mendapatkan vaksin. Dua kali ia sudah datang ke puskemas untuk antre disuntik vaksin.
Kegagalan yang kedua terasa konyol karena sebelumnya ia sudah mendaftar di puskemas. Nama dan nomor telepon sudah dicatat oleh petugas. Beberapa hari kemudian datang kabar. Ibu pun berangkat ke puskemas.
Namun, setelah dilayani oleh petugas skrining dan mengisi formulir, tiba-tiba petugas lain mengatakan bahwa ibu saya belum bisa divaksin. Ibu ditolak karena namanya belum ada di daftar penerima vaksin. Itu membuat ibu kaget dan kecewa. Sebab sebelumnya ia diperbolehkan vaksinasi dan diminta datang ke puskesmas.
Lucunya, ibu diarahkan untuk melakukan pendaftaran ulang sendiri melalui bidan desa atau kantor lurah. Ibu akhirnya meninggalkan puskemas. Ia pulang seorang diri dengan menumpang angkutan umum. Sementara para tetangga yang belum lansia ternyata bisa divaksin.
Mengetahui hal itu saya merasa kesal. Seorang lansia dua kali gagal mendapatkan vaksin Covid-19 karena alasan yang membingungkan. Seharusnya tak ada masalah dengan identitas kependudukan ibu saya. Masalahnya ada pada profesionalisme pelayanan vaksinasi.