Perlu dievaluasi sejauh mana Malioboro yang selama ini dibanggakan sebagai destinasi wisata utama, termasuk wisata kuliner, sudah memiliki "saluran konsumen" untuk menerima keluhan wisatawan.Â
Semacam nomor hotline mestinya tersedia dan bisa diakses atau diketahui oleh pengunjung Malioboro secara mudah. Perlu juga memaksimalkan fungsi pusat informasi turis yang ada agar bisa menjadi posko pengaduan yang berfungsi dengan baik.
Mengeluh di media sosial akhirnya menjadi pilihan wisatawan, salah satunya karena tidak jelas ke mana mereka perlu mengadu jika merasa dirugikan. Belum pasti pula apakah aduannya akan ditanggapi atau malah akan mendapat jawaban: "Kalau nggak mau mahal, jangan jajan di sini", "Lokasi menentukan harga", dan sejenisnya.
Jangan sampai ada kesan "Wisata Kuliner Malioboro Hanya untuk Para Sultan". Artinya orang yang dompetnya tipis dilarang jajan di Malioboro. Kalau tetap jajan, pembeli dilarang protes. Seperti halnya dilarang mengkritik Jogja jika KTP nya bukan KTP DIY.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H