Musik Indonesia dalam konteks nasional bisa dikatakan masih berusia muda. Tonggak industrinya baru terpancang pada 1950-an ketika The Indonesian Music Company Limited mulai merekam musik menggunakan piringan hitam.
Sejak saat itu musik Indonesia terus berkembang dengan beberapa akselerasi. Ragam genre musik kemudian tumbuh subur di Indonesia karena masyarakatnya memiliki kecintaan dan selera yang tinggi terhadap musik.
Kini, industri musik Indonesia dianggap sebagai yang terbesar di Asia Tenggara. Pengaruhnya cukup membanggakan. Masyarakat negeri jiran seperti Malaysia, Singapura, dan Brunei Darussalam sangat menyukai karya para musisi Indonesia.
Begitu kuatnya daya pikat musik Indonesia hingga membuat Pemerintah Malaysia pernah membatasi pemutaran lagu-lagu Indonesia di radio-radio mereka. Kebijakan tersebut diprotes oleh warga Malaysia sendiri yang menganggap musik serta lagu dari Indonesia lebih enak dinikmati, kekinian, dan tidak membosankan.
Bagaimana Musik Eksis di Masa Lampau?
Sementara itu dalam konteks Nusantara, eksistensi musik di tengah masyarakat diyakini telah berkembang sejak berabad-abad lampau. Ini cukup masuk akal mengingat masyarakat Nusantara pada zaman dulu diketahui telah memiliki tingkat kebudayaan yang tinggi. Tinggalan sejarah seperti candi, perkakas logam, dan situs-situs bekas kerajaan menjadi buktinya.
Semua jejak peninggalan tersebut tidak sepenuhnya bersifat independen. Melainkan merupakan bentuk kebudayaan yang bertalian dengan kemampuan atau kecerdasan untuk mencipta, termasuk mencipta musik.
Secara sederhana dipahami bahwa jika masyarakat masa lampau bisa membuat perkakas dan membangun karya arsitektur, maka mereka pun bisa memproduksi benda-benda kesenian, seperti alat musik. Jika banyak di antara mereka mampu memahat batu, maka sangat mungkin sebagian lainnya punya bakat menabuh instrumen penghasil nada.
Catatan pada prasasti maupun relief candi memperlihatkan bagaimana masyarakat Nusantara telah melakukan banyak ritual pemujaan dan praktik keagamaan. Sebagian bentuk ritual atau pemujaan tersebut masih dijumpai sekarang meski tidak sama persis. Menariknya dalam praktiknya ritual-ritual tersebut sering dibarengi dengan kegiatan memainkan musik.
Diduga kuat bahwa hal itu merupakan warisan dari masa lampau. Artinya sejak dulu kegiatan memainkan atau menabuh benda-benda untuk menghasilkan suara-suara ritmis  dan mistis telah dilakukan sebagai pengiring ritual pemujaan terhadap arwah atau dewa.
Selanjutnya karena musik dianggap indah dan berharga, kemungkinan pula masyarakat Nusantara pada masa lampau telah menyadari manfaat kegiatan bermusik dalam mendukung kepentingan diplomasi, politik, dan ekonomi.
Dari semua hal itulah eksistensi musik pada masa lampau mulai berakar. Kecerdasan masyarakat zaman dulu dalam memahat, membuat perkakas, merancang bangunan akhirnya semakin lengkap dengan kecerdasaan bermusik.
Borobudur Pusat Musik Dunia
Sayangnya belum banyak catatan sejarah terungkap yang merinci bagaimana masyarakat Nusantara mengenal dan mengembangkan kesenian bermusik. Juga belum terang dijelaskan bagaimana lintasan perkembangan musik Nusantara dan korelasinya dengan musik Indonesia saat ini. Katakanlah, adakah benang merah antara dangdut yang merupakan musik asli Indonesia dengan kreasi musik masyarakat Nusantara pada masa lampau?
Memang ada catatan-catatan kuno, seperti Sastra Jawa Kuno, serta catatan China dan India kuno yang menyinggung tentang kesenian di Nusantara. Akan tetapi informasinya kurang mendalam. Sedangkan kebanyakan prasasti yang ditemukan di Indonesia lebih menonjolkan sosok raja dan pemimpin beserta prestasinya atau tentang wilayah di mana prasasti itu dibuat.
Untungnya sejarah tidak seluruhnya kabur. Pada relief Candi Borobudur, terutama relief Karmawibhangga, Lalitavistara, Wadariajataka, dan Gandawyuha terpahat rupa alat-alat musik yang mirip dengan alat-alat musik masa kini. Di antaranya ialah suling, simbal, lute, cangka, saron, tifa, dan kendang. Tak kurang 226 relief pada Candi Borobudur yang mengabadikan alat musik dan kegiatan bermusik. Termasuk 45 relief ansambel, yakni gambaran sekelompok orang yang memainkan alat musik secara bersama-sama.
Fakta tersebut sangat luar biasa. Mengingat usia Borobudur yang berasal dari abad ke-8 dan konteks masyarakat pada saat itu, wajar jika muncul dugaan Borobudur Pusat Musik Dunia.
Orkestra Borobudur dan Borobudur Idol
Sangat penting untuk menggali lebih dalam makna dari banyaknya alat musik dan kegiatan bermusik yang terpahat pada relief Borobudur. Mungkinkah pada masa itu Nusantara telah tersohor sebagai bangsa yang besar dengan Borobudur sebagai ibukota kesenian?
Di Nusantara mungkin pernah berdiri semacam padepokan seni dan musik dengan Borobudur sebagai pusatnya. Gema "Sound of Borobudur" menarik sejumlah pemusik dari berbagai penjuru untuk datang. Sejumlah bangsa pun mungkin mengirimkan delegasi kesenian guna belajar musik sekaligus menjalin persahabatan dengan Nusantara melalui Borobudur.
Para wakil dari berbagai bangsa itu berinteraksi. Mereka saling belajar dan bertukar keterampilan seputar musik. Dengan sendirinya terjadi pengayaan musik. Maka kita bisa memperkirakan mengapa dangdut yang diyakini sebagai musik asli Indonesia memiliki warna musik India, Arab, dan Melayu. Itu akibat dari interaksi antara unsur musik Nusantara dengan musik dari bangsa lain yang prosesnya sudah dimulai sejak berabad-abad silam.
Borobudur sebagai Pusat Musik Dunia juga mendorong orang-orang yang datang untuk saling memeragakan keahlian bermusik mereka. Orang dari banyak bangsa memainkan alat musik kebanggaan masing-masing.
Tidak berlebihan kalau kita membayangkan pada masa lampau ada semacam "Borobudur Band Explosion" yang mementaskan kelompok-kelompok musik dari berbagai bangsa seperti halnya kompetisi "Band Explosion" pada masa modern. Dari situlah Borobudur mengabadikan aneka alat musik pada reliefnya. Selain itu, mungkin juga  pernah ada "Borobudur Idol" pada masa itu. Sebab kesenian musik tak hanya keterampilan menabuh instrumen, tapi meliputi juga kemahiran bersenandung.
Adanya gambaran ensambel pada relief Borubudur mengindikasikan bahwa telah ada semacam kolaborasi musik pada masa lampau. Pertemuan para pemain musik memungkinkan adanya "Orkestra Borobudur". Tidaklah berlebihan membayangkan pada masa itu di Borobudur telah ada pagelaran musik yang rutin digelar secara bersambungan dengan pelaksanaan ritual-ritual keagamaan atau ulang tahun raja.
Bayangkan sekumpulan orang berpadu dan berbagi peran memainkan alat musik tiup, alat musik pukul, alat musik petik, dan alat musik membraphone. Nada-nadanya yang memukau mengiringi vokal-vokal indah sejumlah penyanyi. Sementara sekumpulan penari ikut bergerak dengan liukan tubuh yang harmonis.
Mereka memainkan komposisi-komposisi ritmis tersebut di bawah langit Borobudur. Dikelilingi penonton yang berusaha menangkap inspirasi dan menerjemahkannya menjadi kepuasaan serta kebahagiaan. Begitulah mungkin Orkestra Borobudur  pada masanya.
Terakhir, mari coba memaknai fenomena gamelan yang sekarang semakin banyak dipelajari oleh negara-negara lain. Barangkali ini semacam kelanjutan gaung Sound of Borobudur yang telah menembus zaman dan tak berhenti memukau dunia.
Sebagai warisan mahakarya, Sound of Borobudur sudah seharusnya kita bangkitkan dan lestarikan. Sedangkan sebagai semangat peradaban, Sound of Borobudur dan Borobudur Pusat Musik Dunia perlu terus kita kabarkan pada dunia, sebagaimana kita bangga mengabarkan Wonderful Indonesia.