Mengetahui semua itu saya sempat berdecak kagum. Betapa zaman sudah sangat berbeda dan kemajuan teknologi telah membuat banyak sekali perbedaan antara masa saya kecil dengan era keponakan saya sekarang.
Begitupun cara mendidik anak yang tidak selalu sama meski tujuannya mungkin sama. Dalam hal ibadah puasa, setiap anak mungkin belajar berpuasa dengan cara yang berbeda. Dulu ketika saya kecil, tak ada konversi banyaknya hari berpuasa dengan nilai uang sebagai hadiahnya. Bapak dan ibu hanya meminta saya untuk berpuasa semampunya. Tidak masalah jika harus batal pada tengah hari. Memang ketika lebaran sering saya mendapatkan uang dari bapak dan ibu. Namun, itu tak pernah didahului dengan janji sebagai imbalan atas ibadah.
Zaman dulu untuk mendidik anak-anak disiplin dan tertib menunaikan ibadah puasa Ramadan, orang tua dan guru juga memanfaatkan Buku Kegiatan Ramadan yang harus selalu diisi setiap hari. Jujur saja saya tidak sedang dengan hal itu. Sekarang cara tersebut mungkin masih diterapkan oleh sebagian orang. Namun, berkaca dari apa yang dipraktikan kakak saya terhadap anaknya, bisa dimengerti bahwa ada banyak cara untuk mengajari anak beribadah puasa. Setiap orang tua punya pendekatan masing-masing karena setiap anak juga memiliki karakter sendiri.
Keponakan saya mungkin terkesan dimanja dengan iming-iming uang agar ia termotivasi untuk puasa. Namun, kakak saya mengimbangi dengan ketegasan dalam hal lainnya, yakni dibarengi kewajiban mengerjakan tugas sekolah, mengaji, dan salat. Kakak saya  tidak marah jika anaknya batal puasa.
Ada motivasi, ada pengenalan tentang kewajiban, ada reward, dan yang penting ada pembelajaran tentang ibadah puasa itu sendiri. Anak-anak memang perlu didekati dengan banyak cara pada awalnya.
Ramadan tahun ini keponakan saya kembali berpuasa. Alhamdulillah, selama separuh perjalanan belum pernah batal ibadah puasanya. Kemarin sempat saya bertanya apa imbalan yang dijanjikan padanya kali ini. Ia menjawab, "sekarang bunda nggak ngasih apa-apa".