Tempat ini sebenarnya tidak jauh berbeda dengan pasar tiban atau pasar dadakan lainnya yang biasa muncul saat bulan Ramadan. Itu sebabnya dulu saat pertama kali mendengar keberadaannya saya tidak langsung penasaran untuk melongok ke sana. Sebab di Yogyakarta pun ada banyak pasar serupa yang menjadi tempat pilihan masyarakat berburu kudapan dan hidangan berbuka.
Namun, Pasar Ramadan Kauman memang punya kekhasan sendiri. Disebut Pasar Ramadan Kauman karena lokasinya di Kampung Kauman, kawasan alim penuh sejarah yang terletak di ruas Jalan Ahmad Dahlan Kota Yogyakarta.
Dari segi lokasinya yang hanya berjarak 100 meter dari jantung Malioboro dan Nol Kilometer Yogyakarta sudah segera diketahui daya tariknya. Ditambah menurut cerita masyarakat setempat, Pasar Ramadan Kauman sudah muncul sejak tahun 1973. Maka wajar jika masyarakat seantero Yogyakarta paham keberadaannya. Sementara bagi wisatawan yang berkunjung ke Yogyakarta saat bulan Ramadan, pasar ini jadi destinasi tambahan selagi menikmati suasana romantis Malioboro.
Mungkin karena faktor sejarahnya tadi. Mungkin pula karena keseruan menyusuri lorong-lorong di tengah rumah-rumah berdinding tua yang membuat saya menikmati saat berjalan di Pasar Ramadan Kauman.
Di lorong gang yang lebarnya hanya sekitar 2 meter itu puluhan penjual berderet menawarkan kudapan serta hidangan penuh selera mulai pukul 15.00. Kebanyakan menjajakan makanan kecil untuk takjil seperti aneka kua dan jajan pasar. Pecel, bakmi dan berbagai jenis sayur siap santap juga bisa dibeli di sini.
Sebagian besar penjual merupakan warga setempat sehingga meski banyak yang menyajikan jajanan serupa, tapi tidak terlalu tampak aroma persaingan di antara mereka. Bahkan, sambil melayani atau menunggu pembeli, mereka tak jarang saling melempar ujaran penuh canda dalam bahasa Jawa.
Hal menarik lainnya ialah banyak penjual yang saling membantu melariskan satu sama lain. Caranya ialah dengan menampung takjil atau makanan buatan penjual lainnya. Misalnya, jika ada seorang penjual yang membuat kolak dalam jumlah banyak, maka sebagian kolak itu akan dititipkan pada penjual lain di lapak yang berdekatan. Sang pembuat kolak diuntungkan karena dibantu penjualannya. Sementara penjual yang menampung juga diuntungkan karena isi mejanya bertambah. Semakin penuh dan bervariasi takjil yang dijual di atas meja, akan semakin menarik minat pengunjung untuk mampir.
Pertama kali mencicipinya saya langsung suka. Lembut, kenyal, manis dan wangi. Begitulah sederet rasa Kicak yang bisa dicecap dalam setiap gigitan.
Cerita turun temurun di Kauman menyebut bahwa Kicak terlahir dari tangan seorang warga bernama Mbah Wono pada tahun 1950. Oleh karena rasanya yang nikmat dan wujudnya yang berbeda dari olahan ketan maupun jajan takjil lainnya pada waktu itu, Kicak buatan Mbah Wono segera disukai banyak orang. Uniknya, meski disukai banyak orang, Mbah Wono hanya membuatnya saat Ramadan tiba.
Beri Komentar
Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!