Lazimnya, kepala negara meminta bantuan artis untuk mengendorse dan mengkampanyekan program pemerintah. Tapi di Indonesia, justru presiden yang secara langsung mengendorse agenda selebritis dan kepentingan bisnis media.
Apakah itu salah? Entahlah. Namun, memang penuh paradoks dan tidak peka.
Beginilah yang sedang kita saksikan sekarang tentang Indonesia di tengah pandemi. Beberapa hari lalu kita melihat orang nomor satu di republik menghadiri pernikahan selebritis dan youtuber nomor wahid. Bukan hanya hadir untuk bertamu, tapi secara istimewa presiden menjadi saksi nikah mempelai.
Paradoks sekali kehadiran presiden. Saat masyarakat ramai-ramai memprotes dan menolak penyelewengan frekuensi publik untuk siaran tak bermutu, presiden justru secara terang-terangan merestui acara tersebut.
Mengendorse Artis
Bisa dikatakan presiden telah "mengendorse" pernikahan sang artis. Hampir dipastikan keuntungan yang sangat besar dinikmati oleh penyelenggara dan stasiun TV berkat kehadiran presiden.
Paling tidak ada 2 ketidakpekaan yang diperlihatkan oleh presiden. Pertama, ketidakpekaan dalam memahami suara-suara masyarakat yang sejak jauh hari menolak tayangan siaran langsung rangkaian hajatan sang artis.
Sayangnya KPI yang menjadi tumpuan telah gagal memenuhi harapan publik. Ketika KPI tidak berdaya, masyarakat mencoba untuk pasrah. Satu-satunya cara yang paling mungkin dilakukan ialah dengan tidak menonton siaran dan acara tersebut.
Akan tetapi ketika presiden juga hadir dan ikut "mengendorse" acara masyarakat segera mengetahui bahwa bukan hanya KPI yang tak berdaya, tapi presiden pun rupanya tak peduli dengan hak masyarakat atas frekuensi publik.
Kaitannya dengan frekuensi publik itulah presiden memperlihatkan paradoks dan ketidakpekaan berikutnya. Yakni tentang pentingnya kualitas penyiaran.
Perlu diketahui bahwa pada tanggal 1 April 2021 Indonesia baru memperingati Hari Penyiaran Nasional yang dipusatkan di Surakarta dan presiden menyampaikan pidato peringatannya secara virtual.