Mohon tunggu...
Hendra Wardhana
Hendra Wardhana Mohon Tunggu... Administrasi - soulmateKAHITNA

Anggrek Indonesia & KAHITNA | Kompasiana Award 2014 Kategori Berita | www.hendrawardhana.com | wardhana.hendra@yahoo.com | @_hendrawardhana

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Kerumunan Jokowi, Problem Keteladanan di Tengah Pandemi

25 Februari 2021   08:18 Diperbarui: 25 Februari 2021   09:34 526
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Presiden Jokowo bersama warga masyarakat yang mengerumuninya di Maumere, NTT (dok. youtube kompas tv).

Salah satu elemen penting yang hilang atau setidaknya menjadi barang langka di Indonesia selama pandemi Covid-19 ialah keteladanan.

Tidak terlalu sulit menangkap problem ini di tengah masyarakat. Di lingkup keluarga, tidak jarang orang tua yang mestinya memberikan contoh bagi keluarga dalam menerapkan protokol kesehatan justru tidak peduli terhadap Covid-19. Di tingkat kampung, para tokoh masyarakat dan tokoh agama yang peran dan pengaruhnya diharapkan sebagai teladan untuk mendorong kesadaran warga tak jarang menampilkan sikap yang kebalikan.

Sementara di level yang lebih atas, lemahnya keteladanan dijumpai, salah satunya dalam bentuk kebijakan pemimpin daerah yang setengah hati atau malas untuk menangangi pandemi secara maksimal. Sikap buruk dicontohkan pula oleh beberapa kepala daerah dan pejabat yang melanggar protokol kesehatan dengan menggelar pesta ulang tahun, acara hajatan dan sebagainya.

Dengan kata lain problem keteladanan dalam penanganan pandemi Covid-19 di Indonesia terjadi hampir di semua level komunitas masyarakat, mulai dari level paling bawah hingga atas.

Dan kini problem itu semakin lengkap hingga ke puncak kepemimpinan lewat gambaran kerumunan warga di Maumere saat menyambut kedatangan Presiden Jokowi pada Selasa, 23 Februari 2021.

Aksi Spontan? Nanti Dulu!

Pihak Istana memberi penjelasan bahwa kerumunan Presiden Jokowi bersama warga masyarakat dalam kunjungan ke NTT tersebut terjadi secara spontan. Dijelaskan bahwa presiden hanya bermaksud menghargai warga yang telah antusias menunggu di sepanjang jalan.

Jika kejadiannya berlangsung bukan saat pandemi, alasan di atas tentu sangat bisa diterima dan wajar adanya. Akan tetapi dalam situasi sekarang, argumentasi atau movitasi "ingin menghargai antusiasme warga" layak dipertanyakan.

Sebab keinginan menghargai antusiasme tidak sebanding dengan ancaman keselamatan orang-orang yang berkerumun. Potensi penularan Covid-19 juga berlaku pada diri presiden yang meskipun sudah divaksinasi tapi tetap ada kemungkinan terpapar virus Corona.

Pihak istana berkata, "poinnya presiden tetap mengingatkan warga untuk menggunakan masker". Argumen itu terkesan menyederhanakan masalah dan ingin mencari pembenaran.

Faktanya meski Presiden Jokowi berusaha mengingatkan warga untuk menggunakan masker, kerumunan tetap terjadi dan banyak warga terlihat tak menggunakan masker. Andaipun mereka menggunakan masker, itu bukan pembenaran bagi berlangsungnya kerumunan. Sebab penerapan protokol kesehatan, seperti yang selama ini dikampanyekan ialah kepatuhan terhadap tindakan 3M (sekarang 5M) yang harus diterapkan sebagai kesatuan.

Argumen bahwa kerumunan tercipta karena aksi spontan dari Presiden Jokowi sepantasnya dikritik. Sebab meski presiden mungkin tidak bermaksud mengarahkan warga untuk berkerumun, tapi spontanitas presiden sebenarnya bisa dihindari dan diantisipasi jika presiden memiliki kepekaan yang lebih baik terhadap risiko pandemi.

Presiden dan protokolernya punya pilihan yang lebih baik daripada berhenti dan menampakkan dirinya dari atap kendaraan sehingga memancing warga untuk semakin berkerumun. Kejadian itu bisa diminimalisir andai presiden, misalnya, memerintahkan mobil terus melaju sementara petugas dalam jumlah yang cukup tetap menjaga warga yang berbaris di tepi jalan.

Artinya, aksi "spontan untuk mengapresiasi antusiasme warga" yang dilakukan presiden merupakan pilihan yang disadari oleh presiden sendiri. Itu semakin dipertegas dengan pembagian suvenir kaus dan buku yang membuat kerumunan semakin sulit dicegah.

Dari sini bisa dianggap bahwa aksi presiden, baik sengaja atau tidak sengaja, telah secara nyata menimbulkan pelanggaran protokol kesehatan pencegahan Covid-19. Dengan demikian, paling tidak secara moral perlu ada pihak yang merasa bersalah. Dalam hal ini presiden atau protokoler pengamanan.

Contoh Buruk

Argumen bahwa Presiden Jokowi telah mengingatkan warga untuk menggunakan masker, sementara pada saat yang sama presiden mengundang kerumunan merupakan contoh buruk yang sangat disayangkan. Sebab ada kesan bahwa jika sudah menggunakan masker, maka kerumunan bisa diizinkan.

Sikap dan argumen semacam itu menampakan adanya inkonsistensi dalam penerapan protokol kesehatan yang dicontohkan oleh presiden sendiri.

Kalau menengok lebih jauh ke belakang, sikap inkonsisten dan tidak tegas telah beberapa kali diperlihatkan oleh Presiden Jokowi. Salah satu yang cukup mencolok ialah saat presiden membiarkan Menteri Airlangga merahasiakan statusnya saat terjangkit Covid-19. Istana mengaku tidak tahu menahu kejadian tersebut. Muncul pula pernyataan dari staf kepresidenan bahwa menteri yang positif Covid-19 boleh merahasiakan statusnya.

Contoh buruk yang terjadi di lingkar lingkungan istana tersebut merupakan gambaran nyata kurangnya ketegasan dan keteladanan dalam penanganan pandemi Covid-19.

Perlakuan istimewa dan pembiaran terhadap pelanggaran serius semacam itu juga memperlihatkan adanya ketimpangan terhadap tuntutan kepatuhan antara masyarakat dan pejabat. Seolah hanya masyarakat biasa yang wajib patuh pada protokol kesehatan, sedangkan para pemimpin dan pejabat diberikan pilihan-pilihan sendiri. Sayangnya Presiden Jokowi terkesan menyepelekan kejadian-kejadian tersebut.

Ironisnya, dalam konteks kerumunan di Maumere, Satgas Covid-19 cenderung meletakkan kesalahan pada sisi warga dengan menyatakan "pada intinya untuk masyarakat mohon terus mengingat di masa pandemi ini harus senantiasa meminimalisir risiko penularan".

Tindakan masyarakat yang berkerumun memang keliru. Namun, upaya meminimalisir risiko penularan mestinya juga ditekankan lebih kuat pada tindakan yang dilakukan oleh Presiden Jokowi dan aparat keamanan di lokasi.

Patut dikhawatirkan bahwa kerumunan Jokowi di Maumere dan argumen-argumen yang dilontarkan akan ditiru oleh para pejabat sebagai pembenaran atas pelanggaran protokol kesehatan. Para pejabat lain akan mengambil alasan yang kurang lebih sama, yakni "Kami tidak sengaja dan hanya spontan melakukannya. Kami juga telah meminta masyarakat untuk menggunakan masker, sehingga kerumunan yang terjadi di luar tanggung jawab kami".

Dampak selanjutnya ialah sikap mencari pembenaran akan diikuti juga oleh masyarakat. yang menganggap bahwa pelanggaran protokol kesehatan merupakan hal biasa yang bisa dimaklumi. Dengan demikian semakin jelaslah mengapa masyarakat selama pandemi enggan mematuhi protokol kesehatan. Salah satunya karena mereka "meneladani" para pemimpinnya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun