Sebuah foto pemandangan Gunung Gede Pangrango yang terlihat jelas dari Jalan Benyamin Sueb, Kemayoran, Jakarta Pusat menjadi perbincangan luas warganet dan viral selama dua hari terakhir.
Foto yang diambil oleh Ari Wibisono saat dirinya sedang berada di flyover HBR Motik, Kemayoran tersebut bukan saja menampakkan gagahnya obyek gunung, tapi juga dianggap memperlihatkan bersihnya udara Jakarta kala itu sehingga gunung yang berada sangat jauh bisa tampak jelas.
Banyak orang meragukan keaslian foto tersebut. Di antaranya karena transisi antara obyek gunung dengan pemandangan jalan di bawahnya terlihat sangat kontras dan kurang proporsional.
Menjadi semakin viral setelah foto itu dikomentari oleh fotografer ternama Arbain Rambey. Dalam rangkaian cuitannya di twitter, Arbain mencoba menganalisis. Menurut Arbain, foto sensasional tersebut merupakan hasil dari tempelan dua buah foto yang berbeda.
Pro dan kontra segera mengalir deras. Banyak warganet mengamini analisis Arbain. Akan tetapi tak sedikit pula yang membela keaslian foto yang dimaksud.
Sejumlah media online dan TV lalu ikut mengangkatnya sebagai berita. Salah satunya kompas.com yang melakukan klarifikasi dan wawancara langsung dengan Ari Wibisono. Pihak kompas.com bahkan melakukan pemeriksaan digital terhadap file foto yang diberikan Ari. Menurut kompas.com tidak ada indikasi "tempelan" atau penambahan layer dan obyek pada foto tersebut.
Sementara media lain seperti Kumparan dan detik.com menerjunkan fotografer masing-masing ke titik lokasi pengambilan foto tempat di mana Ari Wibisono memotret untuk membuktikan penampakan Gunung Gede Pangrango. Hasilnya didapatkan bentang pemandangan yang kurang lebih sama dengan foto yang viral.
Namun karena sudah biasa melihat gunung dan pergi ke tempat-tempat di mana pemandangan gunung bisa terlihat jelas, saya justru menyimpan sedikit keprihatinan. Apakah sudah sedemikian mahal penampakan gunung dan udara bersih bagi orang-orang Jakarta? Sehingga pemandangan gunung yang tertangkap dari kota dianggap sensasional dan seolah layak dirayakan sebagai "prestasi" daerah.
Bisa jadi memang demikian. Sebab langit Jakarta selama ini memang terkunkung oleh bentangan pencakar langit dan terkurung cemaran polusi udara. Syaraf mata penduduk Jakarta pun barangkali telah kehilangan sebagian memori terhadap gunung dan langit cerah. Maka ketika ada sebentuk pemandangan gunung yang tiba-tiba hadir di depan mata, memori itu bagaikan mendapatkan impuls yang sangat kuat sampai akhirnya mendorong timbulnya rasa "waah".
Mungkin berbeda reaksinya dengan orang-orang desa atau mereka yang tinggal di daerah lain, katakanlah di Jawa Tengah dan DIY. Oleh karena langit di Jawa Tengah dan DIY masih lebih baik dibanding Jakarta, serta kebetulan ada banyak gunung di dua daerah ini, maka penampakan gunung sudah menjadi pemandangan sehari-hari.
Seperti foto-foto dalam artikel ini yang saya jepret dari berbagai tempat di Jawa Tengah dan DIY selama kurun waktu 10 tahun terakhir. Ada yang saya potret dengan kamera smartphone, kamera saku, dan DSLR. Ada yang saya edit dengan Lightroom, ada pula yang hanya disesuikan sekadarnya dengan program sederhana pada laptop Windows dan Macbook.
Izinkan saya ceritakan sedikit setiap foto tersebut dengan urutan foto paling atas merupakan foto nomor 1 dan seterusnya sampai foto paling bawah di akhir artikel merupakan nomor 8.
Foto nomor 1 memperlihatkan kegagahan Gunung Merapi yang tertangkap mata dan kamera saya dari sudut utara kampus UGM. Bentang langit yang diisi oleh Merapi serta rumah-rumah sebagai obyek di bawahnya.
Orang Jogja, terutama yang beraktivitas di kampus UGM atau melewati kawasan ini pasti sudah biasa melihat penampakan Merapi. Tanpa harus menggunakan lensa kamera yang canggih, pada saat kondisi menguntungkan siapapun bisa dengan jelas menangkap Merapi secara berulang pada waktu yang berbeda. Seperti foto nomor 2 ketika pemandangan yang hampir sama kembali saya dapati dari titik lokasi yang tak jauh bergeser.
Foto nomor 3 juga memperlihatkan penampakan Gunung Merapi. Kali ini saya mengambilnya secara dekat, hanya sekitar 3 km sebelum puncak. Dijepret sekitar setahun setelah erupsi besar pada 2010, saya masih ingat betapa saya gemetar melihat moncong Merapi yang menganga lebar. Apalagi tempat ini sering saya datangi sebagai tempat penelitian keanekaragaman Anggrek.
Merapi dan Merbabu lagi-lagi muncul bersama pada suatu senja seperti foto nomor 5. Kali ini saya mengambilnya di depan rumah kakek. Langit yang menguning dan bentangan kabel listrik menjadi tak menutupi gagahnya kedua gunung.
Terakhir ialah penampakan cantik si kembar Sindoro dan Sumbing. Dua gunung di Jawa Tengah ini sering terlihat jelas pada pagi hari seperti foto nomor 8. Ukuran keduanya yang terlihat hampir sama, bagaikan kakak dan adik yang melingkungi alam sekelilingnya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H