Tingginya potensi intoleransi di sekolah ikut dipengaruhi oleh sistem kebijakan yang melahirkan produk-produk berupa aturan sekolah. Tak jarang kepala daerah dan elit-elit politik di daerah mendukung penerapan aturan-aturan yang mengarah ke praktik diskriminasi dan intoleransi.
Kasus SMK 2 Padang adalah salah satu contohnya. Dengan alasan aturan sekolah semacam itu sudah ada sejak lama sehingga harus ditaati, pihak-pihak terkait menolak dianggap memaksa siswi non-muslim untuk mengenakan jilbab.
Argumen bahwa beberapa siswi nonmuslim bersedia mematuhi dijadikan pembenaran untuk mengharuskan siswi lainnya melakukan hal yang sama. Padahal, kebebasan terkait keyakinan keagamaan seseorang tak bisa dibatasi berdasarkan ukuran jumlah.
Potensi sekolah menjadi pabrik intoleransi juga tak lepas dari lingkungan lembaga pendidikan yang mirip dengan miniatur kehidupan di tengah masyarakat. Dengan demikian faktor-faktor yang mendorong praktik intoleransi di tengah masyarakat juga terbawa ke sekolah.
Misalnya faktor kepentingan agama. Secara mudah dapat dijelaskan bahwa kehendak syiar agama telah mendorong guru maupun murid untuk melakukan tindakan demi memperkuat pengaruh dan eksistensi kelompoknya. Begitu pula faktor di luar kepentingan keagamaan, misalnya kecemburuan ekonomi dan prasangka ras yang sering memicu praktik diskriminasi lalu berlanjut ke sikap intoleran.
Pada saat yang sama banyak celah ruang di lingkungan sekolah yang bisa menjadi saluran intoleransi. Mulai dari kegiatan ekstrakurikuler, belajar kelompok, pemilihan ketua kelas dan OSIS, hingga aturan seragam. Ekspresi dan kontaminasi paham intoleran sering kali bermula dan menyebar dari ruang-ruang tersebut.
Bersumber dari Guru
Intoleransi di sekolah merupakan praktik sistemik dengan guru menjadi salah satu sumber penyebarannya. Melalui materi pelajaran dan kegiatan, guru di sekolah kerap mengajarkan berbagai bentuk sikap, perkataan dan perbuatan yang bertentangan dengan nilai-nilai Pancasila.
Kecenderungan guru di Indonesia menjadi sumber intoleransi terungkap dalam survei PPIM. Menurut hasil survei tersebut 21% guru tidak setuju kalau ada tetangga nonmuslim yang menyelenggarakan acara keagamaan di rumah mereka.
Sebanyak 29% guru juga tertarik menandatangi petisi menolak kepala dinas pendidikan yang berbeda agama. Sedangkan 34% guru cenderung menolak pendirian sekolah berbasis agama lain di lingkungannya.
Pandangan intoleran guru telah berkembang mengarah radikalisme. Sebanyak 33% guru setuju untuk menganjurkan orang berperang untuk mewujudkan negara Islam. Bahkan, 29% guru setuju untuk berjihad ke Irak dan Suriah.