Mohon tunggu...
Hendra Wardhana
Hendra Wardhana Mohon Tunggu... Administrasi - soulmateKAHITNA

Anggrek Indonesia & KAHITNA | Kompasiana Award 2014 Kategori Berita | www.hendrawardhana.com | wardhana.hendra@yahoo.com | @_hendrawardhana

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Bencana dan Orang Indonesia yang Suka Membawa-bawa Agama serta Ulama

19 Januari 2021   08:31 Diperbarui: 19 Januari 2021   14:44 2074
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Korban banjir di Kabupaten Banjar, Kalimantan Selatan (foto: Antara).

Ironisnya, prasangka negatif tersebut turut dihembuskan melalui pemberitaan media nasional sehingga sejumlah tokoh dan organisasi keagamaan terpaksa turun tangan untuk meredam ketegangan yang terjadi di tengah masyarakat.

Tren Narasi "Ulama"

Pada setiap kejadian bencana, prasangka keagamaan hampir selalu direproduksi. Tak hanya diulang cerita dan narasinya, tapi juga terjadi "pengayaan" materi.

Sekarang saat rentetan bencana alam mendera Indonesia, dengung prasangka keagamaan dikaitkan dengan "ulama". Tren narasi seputar "ulama" memang menguat di Indonesia selama beberapa tahun terakhir.

Prasangka tersebut kemudian dihubungkan dengan meninggalnya beberapa tokoh agama dan ulama yang kebetulan terjadi dalam waktu berdekatan. Narasi yang menyeruak ialah "bencana karena Indonesia ditinggal dan meninggalkan ulama".

Bisa dicermati pula munculnya narasi-narasi yang secara ekplisit menyebutkan bahwa kejadian bencana beruntun di Indonesia merupakan dampak dari "umat Islam dan ulama yang ditekan oleh rezim".

Kejadian bencana dimaknai oleh sebagian masyarakat sebagai teguran dari Tuhan karena "pemimpin Indonesia telah menzolimi ulama".

Padahal, prasangka-prasangka keagamaan semacam itu seringkali tidak memiliki atau jauh dari konteks keimanan. Melainkan dilatarbelakangi oleh motivasi politik dan ideologi.

Untuk mengidentifikasinya kita bisa mengamati lewat diskursus lainnya yang juga berkembang. Dalam hal ini dengung "syariat islam", "khilafah", dan sejenisnya yang mencuat seiring kejadian bencana memperkuat indikasi bahwa prasangka keagamaan di tengah bencana sengaja direproduksi untuk menyampaikan kepentingan tertentu.

Alih-alih memperkuat persatuan untuk mengatasi dampak bencana, para penyeru prasangka keagamaan yang membawa-bawa "agama" dan "ulama" justru telah menciptakan ketegangan di atas penderitaan akibat bencana.

Oleh karena itu, penting untuk tetap memandang bencana secara obyektif dan menempatkannya dalam wilayah "kemanusiaan", bukan membawanya dalam wadah "kepentingan agama". Sebab itu akan membuat masyarakat semakin terpuruk dan menyeret kita ke dalam jurang bencana lain yang lebih merugikan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun