Rentetan bencana alam yang terjadi silih berganti dalam dua pekan pertama 2021 menyentak kita sebagai bangsa. Gempa bumi dahsyat, letusan gunung berapi, banjir bandang, tanah longsor, angin kencang, laut pasang, hingga ancaman tsunami bukanlah dongeng di negeri ini.
Sebagai negeri yang sangat rawan bencana, Indonesia tak bisa mengelak dari kejadian bencana alam. Lempeng-lempeng benua yang terus bergerak aktif di bawah kerak bumi Indonesia, pengaruh letak geografis, dampak perubahan iklim global, serta sikap dan budaya masyarakatnya telah membuat bencana sebagai konsekuensi dan keniscayaan yang tak bisa kita hindari.
Salah Kaprah Relasi Agama, Takdir, dan Bencana
Bencana alam selalu memperlihatkan representasi mental masyarakat. Dalam hal ini ada paradoks dalam pemaknaan bencana oleh masyarakat Indonesia.
Sebagian masyarakat memaknai bencana alam secara obyektif dengan sudut pandang ilmu pengetahuan beserta aspek-aspek ilmiahnya. Namun, sebagian lainnya berlaku dan bersikap kebalikan. Masih banyak masyarakat Indonesia yang memandang bencana alam secara non-obyektif. Penyebab bencana oleh sebagian masyarakat selalu dikaitkan dengan relasi agama dan takdir.
Paradoks semacam itu menciptakan ironi. Pada satu sisi pemahaman agama bisa melahirkan kesadaran diri yang sangat menunjang ketahanan dan kesiagaan terhadap bencana.
Ajaran agama yang menitikberatkan pada kemanusiaan akan mengarahkan kita untuk saling menjaga satu sama lain. Termasuk saling melindungi dari ancaman bencana. Ajaran agama yang menganjurkan manusia menjaga alam bisa menjadi sumber motivasi bagi masyarakat untuk berperilaku dan hidup selaras bersama alam.
Bentuk pemahaman dan kepatuhan yang positif semacam itu mendorong kesadaran masyarakat untuk ikut melakukan mitigasi bencana sejak dini. Dengan demikian saat terjadi bencana alam dampaknya bisa diminimalisir.
Di sisi lain pemahaman agama yang tidak tepat disertai pemaknaan non-obyektif terhadap bencana akan membuat ketahanan dan kewaspadaan masyarakat semakin rapuh. Tanpa disadari masyarakat terjerumus ke dalam ancaman bencana yang lebih besar.
Ambil contoh pemahaman terhadap konsep "hidup dan mati di tangan Tuhan" yang diterima begitu saja. Pemaknaan keliru tentang konsep tersebut membuat masyarakat merasa tidak perlu berbuat sesuatu. Bencana dianggap sebagai peristiwa yang tidak perlu ditakuti.
Akibat dari pemahaman konsep hidup dan mati seperti demikian timbul anggapan bahwa bencana tidak perlu diantisipasi. Sebab semua manusia pada dasarnya akan mati sehingga bencana cukup diterima apa adanya. Sikap pasrah yang keliru seperti ini membuat kesiagaan dan kewaspadaan masyakarat sulit terbangun secara maksimal.
Pemahaman sempit terhadap konsep kepasrahan "manusia yang merencanakan, Tuhan yang menentukan" juga menimbulkan konsekuensi serupa. Masyarakat yang menerimanya secara sempit menganggap upaya kesiagaan dan mitigasi bencana tidak akan bisa menyelamatkan manusia jika Tuhan tidak mengizinkan.