"Tiap tahun kok begini. Repot amat". Demikianlah saya membatin tadi siang saat menemukan di grup pertemanan ada yang mengirimkan tautan dan video soal ucapan natal yang katanya haram.
Untungnya tak terlalu banyak teman yang terpancing untuk "mendiskusikannya" sehingga grup tetap adem. Mungkin karena sebagian teman juga memiliki suara batin yang serupa dengan saya. Tak berguna membuka tautan dan video itu, apalagi ikut menyebarkannya ke grup sebelah. Saya pun menghapus kiriman itu agar tak merusak tampilan kolom chat.
Bagi saya mengucapkan atau tidak mengucapkan selamat natal bukan sesuatu yang istimewa. Artinya, mereka yang meyakini bahwa mengucapkan selamat natal ialah haram, bisa dipahami. Sebab memang ada argumennya.
Di sisi lain mereka yang menganggap menyampaikan ucapan selamat natal tak dilarang agama juga bisa diterima dan ada pula dasarnya. Itu bukan toleransi yang kebablasan.
Sudah begitu saja. Maka urusan menjadi beres. Kalau kata Gus Dur, "gitu aja kok repot".
Akan tetapi kenyataannya setiap tahun tak bisa beres. Malah terkesan repot.
Perihal ucapan selamat natal, topi santa, atau atribut Natal lainnya dijadikan polemik. Setiap tahun pembahasan tentang hal itu direproduksi ulang.
Pada sebagian kecil komunitas masyarakat, orang-orang sibuk membahasnya. Di grup pertemanan hingga keluarga ada saja yang setiap jelang Natal selalu repot-repot menjadi juru dakwah. Membagikan video dari ustaz A, mengirimkan tautan pendapat ulama B, mengirimkan foto disertai kutipan pendapat dari tokoh C. Katanya sih sekadar meneruskan dari grup sebelah.
Sementara di sejumlah kajian pertanyaan itu terus dimunculkan seolah-olah ada keresahan yang sangat dalam dari sang penanya. Lalu sang ustaz membahas penjang lebar sampai semua merasa puas.
Pernah suatu kali seorang teman berkata kalau kajian tentang ucapan selamat natal hanya untuk kalangan sendiri. Batin saya tersenyum dan ingin rasanya merespon dengan untaian kata: "bukan untuk kalangan sendiri namanya kalau ada di youtube, lalu disebar di media sosial, diteruskan ke grup-grup".
Menurut saya sebagian orang terlalu repot dan kepo terhadap keyakinan orang lain. Saking keponya lalu menelisik sampai ke hal-hal yang tak pantas kita nilai. Sangat absurd kalau ada orang yang berani menilai bahkan menghakimi keyakinan tertentu dengan standar keyakinannya sendiri.