Pengalaman telah memberikan pelajaran yang berharga. Suatu siang di akhir pekan pada September lalu, kami dikejutkan oleh gedoran pada kaca mobil yang kami tumpangi.
Tak ada satupun dari kami bertiga yang menyadari sebelumnya bahwa sejumlah orang sedang berlarian mengikuti kami dari belakang. Saat itu kami baru akan berpindah lokasi usai membagikan nasi kotak dan masker kepada sejumlah orang. Rupanya ada beberapa orang lainnya yang melihat kami dari kejauhan dan kemudian mengikuti kami untuk mendapatkan nasi dan masker tersebut.
Beruntung situasi jalanan sedang tak terlalu ramai dan kami masih melaju pelan sehingga saat kami berhenti mendadak di badan jalan tak terjadi insiden lalu lintas.
Mau tak mau kami memang harus berhenti. Tak nyaman rasanya mengabaikan begitu saja orang-orang itu.
Kami membuka kaca pintu mobil untuk mengulurkan beberapa kotak nasi dan masker. Tapi tak semua orang mendapatkannya. Sebab selain terbatas jumlahnya, kami pun tak bisa "parkir" terlalu lama di tengah jalan. Sambil menyampaikan kata maaf, kaca pintu mobil kami tutup dan kami melaju lagi.
Pada akhirnya peristiwa tersebut membuat kami mengubah strategi pembagian nasi, masker, dan hand sanitizer pada kesempatan-kesempatan berikutnya. Kami tak lagi menggunakan mobil. Kecuali kalau kami yakini akan turun hujan pada saat pembagian berlangsung.
Semenjak saat itu kami kembali menggunakan sepeda motor. Berpencar dengan masing-masing membawa beberapa bungkus nasi, hand sanitizer dan masker. Sedangkan pembagian tetap dilakukan pada akhir pekan. Atau sering lebih awal pada Jumat.
Sebenarnya saat memulai kegiatan pembagian nasi, masker dan hand sanitizer pada April lalu, kami tidak menggunakan mobil. Untuk mengitari kawasan kampus dan sekitarnya kami menunggang sepeda motor. Bahkan ada kalanya sambil bersepeda kami sempatkan membagi masker atau hand sanitizer saja.
Akan tetapi sejak Agustus ketika ada yang bersedia menyediakan nasi untuk dibagikan dan jumlahnya seringkali lumayan banyak, menggunakan mobil kami anggap lebih praktis. Memang benar adanya, tapi juga punya kelemahan.
Melakukan pembagian dengan mobil dan menyodorkannya lewat kaca mobil ternyata mudah mengundang kerumunan. Mungkin tidak terlalu merepotkan, tapi kami menghindari terjadinya hal-hal yang kurang aman dan nyaman.
Dengan sepeda atau sepeda motor kami merasa lebih mudah. Selain lebih cepat dan bisa menjangkau lebih banyak lokasi, juga menghindari kerumunan orang di jalan seperti yang kami alami saat pintu mobil digedor tempo hari.
Segi positifnya kami jadi bertambah kenalan. Beberapa kali kami bertemu dengan sejumlah pesepeda motor lainnya yang berboncengan dan juga akan membagikan nasi.
Sempat kami bertegur sapa saat berhenti di satu lokasi yang sama. Kami bertukar cerita yang isinya sangat bermanfaat. Dari obrolan tak disengaja itu kami saling "sepakat" mengenai tempat mana saja yang sebaiknya kami tuju agar tak menumpuk di satu lokasi.
Memahami tempat atau lokasi ternyata sangat penting. Sebab ada tempat-tempat langganan yang sering dituju oleh sejumlah pihak untuk melakukan pembagian makanan. Di tempat-tempat itu biasanya orang-orang sudah menunggu. Mereka hafal bahwa akan ada pembagian nasi dan sebagainya.
Beberapa kali kami pun menyaksikan hal itu. Ketika membagikan nasi, masker, atau hand sanitizer di suatu tempat, tak berselang lama sesudah atau sebelumnya ada orang lain yang melakukan hal yang sama. Beberapa mobil dan sepeda motor berhenti dan segera orang-orang berkerumun. Tidak menutup kemungkinan penerima bantuan di tempat tersebut bisa menerima berulang kali.
Oleh karena itu, jika tempat tersebut sudah ada kelompok atau komunitas yang rutin melakukan pembagian, kami lebih baik menuju tempat lain.
Kami pun saling memanfaatkan relasi dan jaringan masing-masing. Tidak berpikir membuka donasi secara terbuka karena kami sadar itu bukan keahlian kami dan tampak merepotkan. Lebih baik langsung menghubungi kenalan-kenalan yang kami anggap bisa turut membantu.
Salah satu contohnya kami mendapatkan seorang pemilik usaha isi ulang parfum yang bisa menyediakan beberapa botol semprot untuk dijadikan wadah hand sanitizer. Itu terjadi pada April lalu ketika hand sanitizer sedang langka dan melonjak harganya, sementara botol-botol ikut diburu.
Kami memang tidak mendapatkannya secara gratis. Tapi sangat terbantu karena diperbolehkan membeli dengan harga jauh lebih murah dibanding harga pasaran yang saat itu melonjak. Kami juga pernah mendapatkan masker kain secara cuma-cuma. Selebihnya kami menyiapkan dan menyisihkan sumber daya sendiri.
Sekarang kami juga lebih selektif untuk menentukan kepada siapa nasi, masker, dan hand sanitizer lebih mendesak kami berikan. Tak masalah ini dikatakan kurang etis dan terkesan pilih-pilih.
Namun, mengingat jumlah yang dibagikan terbatas dan seiring berjalannya waktu kami merasa ada orang-orang yang selama ini luput dari pengamatan, maka kami punya pilihan sendiri. Termasuk apa yang kami sampaikan kepada sang penerima.Â
Kepada mereka kami selalu mengatakan hal sama yang sebenarnya membosankan: "Dipakai maskernya, Ya Pak. Jangan lupa maskernya, ya mas. Cuci tangan terus, ya Bu, biar sehat"
Menurut kami berbagi bisa semakin efektif kalau kami memperhitungkan strategi. Bagaimana kami melakukannya, kapan dan di mana tempatnya, serta kepada siapa ditujukan. Semua itu kami hayati seiring berjalannya waktu sejak April hingga hari ini.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H