Oleh karena itu, unggahan Presiden Jokowi tentang kerukunan umat beragama yang menyinggung soal perpecahan, egoisme dan sebagainya pada 4 November kemarin memiliki konteks dan aktualitas yang berbeda.Â
Momennya yang bersamaan dengan kabar kepulangan HRS menjadi indikasi kuat bahwa Presiden secara tersirat sedang mengaitkan antara HRS dan kerukunan umat beragama di Indonesia.
Apakah itu berarti pulangnya HRS dianggap akan menghadirkan ujian atau ancaman bagi kerukunan beragama?
Mungkin terlalu serius jika menganggap seorang HRS bisa membuat seorang presiden gelisah atau membuat kerukunan beragama terkoyak.
Namun, tidak terlalu sulit juga untuk mengaitkan antara keduanya. Sebab sosok HRS memiliki jejak panjang dalam berbagai isu dan peristiwa besar yang selama ini kerap menimbulkan gesekan dan ketidaknyamanan dalam kehidupan beragama.
HRS yang dijunjung sebagai pemimpin atau imam besar FPI ini bersama sejumlah kelompok lainnya sering memainkan peran dalam sejumlah peristiwa penuh gejolak yang menempatkan agama dan politik pada simpang jalan.
Tercecer pula sejumlah jejak ujaran kebencian, provokasi, dan penghinaan yang dilontarkannya selama ini. Sasarannya mulai dari mantan presiden, presiden, hingga dasar negara Pancasila pernah dilecehkan olehnya.
Tercatat pula bagaimana sepak terjang HRS berulang kali menimbulkan regangan-regangan pada ikatan kerukunan beragama sekaligus menimbulkan luka-luka batin di kalangan penganut agama lain. Semua itu tak bisa dianggap remeh. Haru diakui luka-luka itu sulit sembuh dan bahkan sering dibuat menganga lagi.
Secara umum tali kerukunan beragama di Indonesia memang masih dapat diunggulkan. Namun, dalam banyak kejadian beberapa tahun terakhir tampak jelas adanya sejumlah titik simpul yang rawan dalam utas tali tersebut. Pada titik-titik itulah bangsa Indonesia berulang kali mendapat ujian.
Jika terus menerus tergesek dan tersayat, bukan tidak mungkin simpul-simpul itu akan terberai. Inilah "harga mahal" yang dimaksud oleh Presiden Jokowi. Â
Sayangnya harus diakui pula bahwa negara dan pemerintah selama ini belum mampu hadir sepenuhnya dalam merawat kerukunan. Seolah diakui oleh Presiden Jokowi sendiri bahwa tugas merawat kerukunan justru dibebankan para "penggerak kerukunan". Seringkali penyembuhan luka akibat konflik juga dilakukan oleh masyarakat sendiri.