Di sisi lain, dompet di saku celana tak lagi menyimpan banyak uang. Bahkan, dalam beberapa bulan selama pandemi saya hanya menyisakan lembaran uang tak lebih dari Rp200.000 setiap bulannya di dalam dompet. Sebab sebagian besar dana bulanan telah diubah menjadi deretan angka saldo uang elektronik maupun saldo di aplikasi digital banking.
Itu baru satu kebiasaan. Dalam urusan lain pun tak jauh berbeda. Sejumlah bukti transaksi dan invoice pembayaran di kotak masuk email menjadi saksi betapa dengan digital banking saya mampu mengupayakan berbagai kebutuhan secara lebih mudah. Mulai dari yang sederhana seperti membeli pulsa dan data internet, mengisi ulang dompet digital, sampai urusan transfer, belanja online, pembayaran bulanan, membeli tiket konser virtual, dan masih banyak lagi.
Bagi saya kebiasaan bertransaksi secara digital sebenarnya bukan hal baru, tapi tak dipungkiri kebiasaan-kebiasaan tersebut akhirnya menjadi pilihan pertama sekaligus andalan utama selama pandemi Covid-19.
Namun, ternyata semuanya tak serepot yang saya bayangkan. Saya merasa beruntung telah memiliki pengalaman memanfaatkan digital banking selama beberapa tahun terakhir. Itu mempercepat dan mempermudah adaptasi gaya hidup aman dan selamat di tengah pandemi.
Malah saya bisa menemukan sejumlah pengalaman dan kenyamanan baru dengan mencoba beberapa fitur yang sebelumnya jarang dimanfaatkan.
Soal keamanan juga tak lagi saya cemaskan secara berlebihan. Bukan berarti menganggap enteng urusan yang satu ini. Namun, teknologi digital banking telah semakin canggih. Bank telah menyematkan sejumlah piranti keamanan yang berlapis tanpa mengurangi kemudahan bertransaksi.
Hal itu pun ditegaskan oleh Michel Hamilton selaku Chief Strategy, Transformation & Digital Officer Maybank Indonesia. Secara spesifik ia mencontohkan Maybank dan aplikasi M2U yang menempatkan aspek keamanan sebagai salah satu prioritas utama pelayanan. Menurutnya kemudahan sekecil apapun tetap harus disertai dengan keamanan semaksimal mungkin.
Walau demikian ia tak memungkiri masih ada kendala dalam mendorong masyarakat agar mau memanfaatkan layanan digital banking secara maksimal. "Ada mindset khawatir sebelum mencoba," ujar Michel.
Lebih jauh disebutkan bahwa di satu sisi masyarakat Indonesia cukup terbuka dan memiliki daya adaptasi yang tinggi terhadap inovasi teknologi seperti digital banking dan keuangan digital lainnya. Namun, di sisi lain masyarakat juga mudah khawatir dan ragu-ragu terhadap layanan perbankan.
Padahal, pengalaman menunjukkan bahwa sekali seseorang mencoba digital banking, ia akan segera merasa nyaman dan ingin terus menggunakanya.