Mohon tunggu...
Hendra Wardhana
Hendra Wardhana Mohon Tunggu... Administrasi - soulmateKAHITNA

Anggrek Indonesia & KAHITNA | Kompasiana Award 2014 Kategori Berita | www.hendrawardhana.com | wardhana.hendra@yahoo.com | @_hendrawardhana

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Bagaimana Jika Artikelmu di Kompasiana Memakan "Korban" dan "Berdampak Buruk"?

13 Oktober 2020   12:50 Diperbarui: 14 Oktober 2020   03:51 729
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kompasiana (dok. pri).

Dilema ini sering saya alami. Pertimbangan untuk menayangkan atau tidak menayangkan suatu informasi di Kompasiana kadang membuat saya menahan diri untuk tidak segera menekan tombol tayang. Beberapa kali saya urungkan keinginan untuk menayangkannya. Kemudian memilih untuk mengirimkannya langsung ke pihak terkait layaknya laporan.

Sekarang menayangkan artikel di blog bagi saya tidak sesederhana menekan tombol tayang. Sebab saya telah mengalami dan menjumpai sejumlah kejadian di mana artikel yang saya tayangkan di Kompasiana ternyata memiliki dampak lebih dari yang diperkirakan.

Setiap kali menulis blog, entah itu berupa berita, laporan, cerita perjalanan, atau sekadar opini, tujuannya saya hanya satu, yakni menghadirkan kebaikan. Kalaupun isinya tentang kejadian yang kurang baik, semangat yang melatari penulisannya tetap bertumpu pada keinginan untuk mendorong perbaikan.

Namun, kadang beberapa tulisan meluncur begitu jauh. Bagi saya sebenarnya tidak menjadi persoalan. Sepanjang yang saya ceritakan merupakan fakta dan ditulis dengan maksud baik, dampak dari tulisan itu terhadap saya pribadi tidak perlu dicemaskan.

Beberapa artikel, terutama yang berupa "laporan" sering membuahkan hasil yang baik. Direspon oleh pihak-pihak yang memang perlu menindaklanjutinya.

Akan tetapi bagaimana dampaknya terhadap orang lain? Baik yang secara langsung disinggung dalam artikel maupun yang sekadar berada dalam konteks tulisan yang saya buat.

Begitulah yang kerap saya dapati dari sejumlah artikel saya di Kompasiana. Dampak dari tulisan-tulisan itu ternyata memakan "korban".

Salah satu yang lumayan membekas ialah ketika menayangkan artikel tentang NET TV yang mengambil konten saya di Kompasiana tanpa izin. Baca: Menyedihkan, Cara NET TV Mencuri Karya Saya.

Perjalanan kasus itu lumayan menarik dan berkesan. Butuh waktu 30 hari untuk menuntaskannya setelah saya dan perwakilan NET bicara dalam satu meja. Sampai pemimpin redaksi NET menelepon dan mengirimi saya sms.

Di situ saya mengetahui bahwa sejumlah pihak telah diberhentikan karena terbukti melakukan pencurian konten dari pihak lain. Saya masih ingat ketika mendapat penjelasan dari NET tentang langkah-langkah yang ditempuh terkait kasus ini. Saya sempat diberi tahu juga bagaimana marahnya Wishnutama mengetahui ada anak buahnya yang mencuri konten untuk sebuah tayangan langsung.

Pada saat itu saya katakan bahwa pemecatan terhadap kru dan seterusnya berada di luar kendali saya. Itu juga bukan bagian dari hal yang saya minta. Semua itu urusan kebijakan internal NET.

Tentu saja awalnya saya tidak mempedulikan soal orang-orang yang dipecat. Akan tetapi beberapa hari kemudian hal itu mulai mengusik. Hati saya menimbang dampak tersebut. Apakah saya telah membuat orang lain menderita? Apakah artikel saya telah memakan korban?

Contoh lainnya ialah artikel saya tentang sebuah apotek Kimia Farma di Yogyakarta yang menjual masker dengan harga di luar ketentuan dan tanpa nota. Detail kejadiannya masih jelas dalam ingatan karena belum lama terjadi dan berlangsung di tengah pandemi Covid-19 saat ini. Baca: Diam-diam Kimia Farma Menjual Masker Sangat Mahal

Dampak dari "laporan" di Kompasiana itu Kimia Farma memecat sejumlah karyawan apotek setelah investigasi internal mereka membenarkan artikel yang saya tulis.

Saya sebenarnya tak mau memikirkan masalah pemecatan itu. Namun, tiga hari berselang sebuah email saya terima dari pihak yang mengaku mewakili orang-orang yang telah dipecat oleh Kimia Farma. Isi emailnya tidak jauh dari kemarahan dan cacian yang ditujukan kepada saya.

Menurut pengirim email, artikel saya di Kompasiana telah membuat sejumlah orang kehilangan pekerjaan. Padahal, orang-orang itu punya keluarga yang perlu dinafkahi.

Saya sempat mengkonfirmasi email tersebut kepada perwakilan Kimia Farma Yogyakarta dan dibenarkan bahwa Kimia Farma memang memberhentikan sejumlah karyawan apoteknya. Akan tetapi pengirim email tersebut serta isinya tidak terkait dengan Kimia Farma. Lagipula pengirimnya "anonim".

Untuk beberapa saat saya beberapa kali membaca ulang email tersebut. Sempat muncul sedikit rasa bersalah karena ternyata artikel saya memakan "korban" lagi. Apalagi, di tengah masa pandemi ketika kondisi ekonomi banyak orang sedang tercekam. Orang-orang ini lalu kehilangan pekerjaannya.

Kejadian-kejadian seperti demikianlah yang kerap mendatangkan dilema ketika ingin menayangkan "laporan" di Kompasiana. Bagi saya keputusan untuk mengklik tombol tayang bukan lagi dilandasi hitungan-hitungan jumlah viewer atau kehendak diretweet berkali-kali di media sosial. Melainkan sering dilingkupi oleh pertimbangan akan sejauh mana dampaknya nanti?

Banyak orang mungkin berpendapat, "menulis ya menulis saja, tak perlu dipikirkan hasilnya". Prinsip itu ada benarnya, tapi bagi saya sekarang tak selalu bisa jadi pegangan.

Tanggung jawab saya memastikan bahwa apa yang saya tulis bukan hoaks sambil berharap kebaikan mengalir darinya. Akan tetapi pengalaman subyektif juga menuntut saya untuk memikirkan hal-hal di luar itu. Dalam hal ini sejauh mana artikel yang saya tulis akan menempatkan orang lain dalam risiko-risiko tertentu.

Seperti yang sedang saya rasakan sekarang. Setelah menayangkan artikel "Pak GanjarPranowo, Lihatlah Pesta Corona di Purbalingga Ini", saya mendapat banyak penjelasan dan pengakuan dari beberapa pihak terkait. Termasuk dari Satgas Covid-19 di daerah yang berkutat langsung dengan data pandemi.

Penjelasan mereka merupakan informasi berharga yang sudah sewajarnya ditindaklanjuti oleh jajaran di atasnya. Bagi saya beberapa fakta terbilang mencengangkan.

Ada yang meminta "off the record". Namun, ada pula yang secara terang mendukung saya menyampaikan laporan tersebut dengan harapan bisa didengar oleh pejabat yang lebih tinggi. 

Akan lebih baik jika artikelnya berhasil mengusik Gubernur dan Presiden yang selama ini menganggap pandemi sudah bisa dikendalikan, padahal di daerah sejumlah hal penting ditutup-tutupi.

Tidak sulit menuliskan semua itu sebagai artikel di Kompasiana. Namun, hingga detik ini semuanya masih saya tempatkan dalam arsip pribadi. Sebab saya perkirakan akan ada "korban-korban" jika hal itu ditayangkan dan dilaporkan lewat blog besar seperti Kompasiana.

Apakah saya berlebihan? Mungkin saja. Tapi bagaimana jika ada Satgas Covid-19 di daerah yang mengaku secara panjang lebar kepada anda bahwa "saya sudah jengah dengan penanganan pandemi.......kita dipaksa.......tidak ada yang berani.......karena bisa berdampak buruk".

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun