Mohon tunggu...
Hendra Wardhana
Hendra Wardhana Mohon Tunggu... Administrasi - soulmateKAHITNA

Anggrek Indonesia & KAHITNA | Kompasiana Award 2014 Kategori Berita | www.hendrawardhana.com | wardhana.hendra@yahoo.com | @_hendrawardhana

Selanjutnya

Tutup

Healthy Artikel Utama

Perlukah "Mengharamkan" Masker Scuba?

18 September 2020   08:59 Diperbarui: 18 September 2020   17:40 1026
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sedang hangat perbincangan soal scuba dan buff yang tidak direkomendasikan sebagai masker di tengah pandemi Covid-19. 

Imbauan untuk tidak menggunakan scuba bahkan telah dikeluarkan oleh PT. KCI kepada para calon penumpang kereta komuter. Imbauan ini akan dievaluasi kembali. Artinya bisa ditiadakan atau malah ditingkatkan menjadi pelarangan yang lebih tegas.

Sementara itu terlanjur banyak orang yang memakai scuba sebagai pengganti masker kain dan masker medis. Banyak orang merasa lebih nyaman menggunakan scuba. Pernah saya bertanya kepada seorang teman yang biasa menggunakan scuba. Menurutnya selain lentur, scuba juga lebih "adem" sehingga tidak cepat membuat gerah penggunanya.

Scuba semakin populer setelah muncul inovasi mencetak aneka motif dan corak di atas permukaannya. Mulai dari gambar wajah lengkap dengan mulut dan kumis, hingga gambar lambang dan identitas tertentu. Popularitas scuba semakin naik karena digunakan oleh para tokoh publik, pejabat, hingga aparat.

Meski demikian saya belum pernah berminat menggunakan scuba layaknya masker. Memperhatikan mudahnya aneka motif dan gambar dicetak di atasnya sebenarnya sudah bisa diperkirakan bagaimana kualitas scuba. Materialnya yang satu lapis dan lentur memperlihatkan kekurangannya sebagai alat pelindung diri.

Kemudian terbit sejumlah paper dan publikasi ilmiah yang membahas soal transmisi droplet dan efektivitas berbagai jenis kain sebagai bahan masker. Paling tidak dalam dua bulan terakhir ada beberapa penelitian yang menyinggung tentang hal itu.

Salah satu temuannya ialah soal scuba dan buff yang memiliki efektifivitas rendah dalam menahan dan mencegah penyebaran droplet. Bahkan, dalam kondisi tertentu scuba dipandang berisiko karena partikel droplet setelah melewatinya akan terpecah menjadi partikel-partikel mikro yang lebih ringan dan mudah menyebar.

Temuan soal scuba dan buff merupakan bagian dari dinamika ilmiah. Artinya jangan kaget atau heran jika di kemudian hari akan ada banyak hal "sepele" terkait Covid-19 yang terungkap.

Masalahnya dinamika ilmiah semacam itu sering tidak mudah diterima oleh masyarakat. Apalagi banyak orang sudah "terlanjur nyaman" dengan scuba. Belum lagi jika mempertimbangkan suara dan nasib para produsen serta penjual scuba.

Salah satunya seperti yang saya temui sore kemarin. Ini adalah pertama kalinya saya membeli masker scuba karena penasaran. Pertama kali pula saya mencoba scuba sebentar demi mendapat pengalaman menggunakan "masker"  yang satu ini.

Penjual yang saya datangi tidak hanya menyediakan scuba. Masker kain dengan model earloop dan headloop juga dijualnya. Namun, dari semua masker yang digantung olehnya pada beberapa utas tali, scuba-lah yang mendominasi. Mulai dari scuba polos berwarna hitam, coklat, dan merah, sampai scuba dengan aneka motif. Saya pun membeli satu scuba warna hitam seharga Rp5000.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun