Pandemi Covid-19 yang belum dapat dipastikan kapan akan berakhir menuntut semua orang untuk segera beradaptasi. Selain untuk kembali menggerakkan roda ekonomi, juga agar semua bisa lebih terlindungi.
Salah satunya seperti yang dilakukan oleh Mbah Darmi. Sebagaimana kebanyakan orang, nenek 63 tahun ini tak pernah menyangka akan menemui masa pandemi hebat dalam hidupnya.
Puluhan tahun menjajakan gudeg Mbah Darmi sudah menyaksikan banyak perubahan. Akan tetapi baru kali ini ia merasakan perubahan yang begitu besar dan cepat.
Pada awal Korona mewabah di Indonesia Mbah Darmi terpaksa berhenti berjualan selama hampir 2 pekan akibat sepinya pembeli.
Setelah itu ia kembali menjajakan gudeg tepat di sisi timur Hotel Tickle atau di sisi utara auditorium Lembaga Pendidikan Perkebunan (LPP), Jalan Urip Sumoharjo, Kota Yogyakarta. Pembeli pun kembali berdatangan.
Nasinya melimpah yang bagi saya bisa disantap dalam dua ronde. Oleh karena itu, lebih aman meminta nasi separuh porsi saja saat memesan.
Mbah Darmi juga menyediakan bubur bagi yang tidak ingin menyantap gudeg dengan nasi. Soal harga dijamin tak mencekik.
Ketika memutuskan kembali berjualan di tengan pandemi, Mbah Darmi menimbang-nimbang seperti apa cara baru yang perlu diterapkannya untuk melayani pembeli dan pelanggannya. Baginya Korona tidak boleh dianggap remeh.
Mbah Darmi memulainya dengan menggunakan masker sejak akhir Maret guna menjaga kebersihan dan mencegah penyebaran Covid-19.
Kini masker tak pernah lepas darinya. Ia mengaku sudah terbiasa dan nyaman dengan alat pelindung diri tersebut.
Mbah Darmi pun kembali beradaptasi dengan mencoba mengikuti cara dan gaya hidup baru sesuai protokol kesehatan.
Maka usai lebaran ia memutuskan untuk menggunakan pelindung wajah (face shield). Walau sempat merasa canggung, Mbah Darmi segera bisa beradaptasi dengan lembaran mika di depan wajahnya itu.
Meski sudah menggunakan pelindung wajah, Mbah Darmi tak lantas melepaskan masker selama berjualan. Penggunaan dua alat pelindung diri tersebut secara bersama-sama ia pandang bisa memberikan kondisi teraman bagi dirinya sendiri serta para pembeli.
Mbah Darmi tetap melayani pembeli yang ingin bersantap langsung di tempat. Namun, untuk mengurangi risiko ia dibantu suaminya mengatur letak kursi plastik sedemikian rupa agar pembeli bisa duduk dalam jarak yang renggang. Pembeli pun dipersilakan mengambil sendok sendiri.
Mbah Darmi juga membatasi interaksi antara dirinya dengan pembeli dalam hal pembayaran. Meski belum melayani pembayaran secara nontunai, mbah Darmi meminta setiap pembeli untuk menyerahkan uang kepada sang suami yang setia menemaninya berjualan dari pukul 05.00-08.30.
Tatanan kehidupan normal yang baru memang menuntut pola adaptasi yang cepat dan tepat. Mbah Darmi menyadari bahwa cara berjualan tak akan sama lagi seperti dulu.
Meski harus mengeluarkan biaya tambahan untuk menyiapkan masker, pelindung wajah, sabun, dan hand sanitizer, upaya tersebut mau tidak mau harus dilakukan demi keselamatan dan kesehatan bersama.
Dalam setiap porsi gudeg basah Mbah Darmi, terhidang pesan kuat bahwa kehidupan normal yang baru bisa menjadi harapan baru jika dan hanya jika setiap orang mau mematuhi aturan dan protokol kesehatan.
Tanpa kesanggupan untuk beradaptasi mengikuti cara dan gaya hidup baru, serta tanpa kepedulian untuk menjaga keselamatan bersama, skenario normal baru justru akan memperpanjang ketidakpastian kapan pandemi akan usai.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H