Lumayan lama kami "berkumpul" tadi pagi. Panggilan grup video sempat berhenti beberapa menit, tapi kemudian kembali tersambung.
Dari jauh dan hanya lewat layar smartphone saya bisa melihat suasana rumah. Rak buku, lemari, kursi, serta sejumlah benda yang berada di ruang keluarga rasanya masih sama. Tak berubah susunan dan letaknya seperti terakhir kali saya ada di sana.
Saat ibu pamit sebentar ke dapur, giliran bapak yang bercerita. Katanya mereka semua salat Idulfitri berjamaah di ruang keluarga. Saat bapak sedang bercerita, keponakan saya yang berumur 6 tahun menyerobot obrolan. Sambil tertawa bocah laki-laki itu memamerkan amplop berisi lembaran-lembaran uang.
Sontak kami semua tertawa. Saya yang penasaran dengan asal muasal uang itu jadi bertanya. Kakak saya lalu menjelaskan bahwa ia mengganjar anak laki-lakinya dengan imbalan Rp20.000 untuk satu hari puasa. Ternyata keponakan saya bisa berpuasa selama 27 hari. Maka dari itu imbalan yang diterimanya lumayan tebal. Sementara adiknya yang perempuan dan berusia empat tahun tak mau kalah. Meski angpao lebarannya jauh lebih sedikit, tapi ia cukup senang karena beberapa hari sebelumnya baru dibelikan mainan.
Mainan itu dipamerkannya malam sebelum lebaran. Ya, kemarin malam kami sekeluarga juga bertemu di ruang virtual. Dengan latar suara takbiran, pertemuan kami malam itu tak kalah hangatnya.
Bahkan, membuat saya iri karena mereka semua sedang berbuka puasa bersama. Dua keponakan saya asyik melahap makanannya dan dengan isengnya mereka menawarkan kepada saya yang hanya bisa menelan ludah dari jauh.
Barangkali karena pertemuan kami telah dicicil semalam sebelumnya dan juga malam-malam lainnya selama Ramadan, maka suasana lebaran tadi pagi jadi tak terlalu diselimuti haru yang berlebihan. Kecuali momen ketika ibu menangis dan kami anak-anaknya menahan kata dengan perasaan mendalam.
Bahkan, setelah panggilan video kami akhiri, percakapan di grup whatsapp keluarga masih berlangsung normal. Tak ada ungkapan berlebihan. Kakak malah mengirim foto editan muka kami yang lumayan lucu. Lalu ketika saya mengirimkan gambar suasana Yogyakarta dengan menyertakan kalimat "sepi banget", ibu menjawabnya: "Semua juga sepi kok, sama".
Agak lama saya mencerna jawaban ibu tersebut. Kalimatnya tampak biasa saja. Namun, kemudian saya meyakini ada makna yang tersirat.
Lewat jawaban itu ibu seolah mengingatkan saya bahwa jangan hanya karena pandemi kita menganggap bahwa Idulfitri ini harus diratapi. Jangan hanya karena merasa sepi dan tak bisa pulang kampung kita seolah menemukan pembenaran untuk mengeluh dan merasa paling susah. Semua orang merasakan derita yang kurang lebih sama.