Hilal telah tampak. Kabar itu merambat cepat di Kampung Kemuning. Bermula dari kantor lurah. Lalu seseorang yang keluar dari kantor itu membawa kabar dan meneruskannya lewat mulut ke mulut sampai akhirnya didengar oleh orang sekampung.Â
"Hilal telah tampak! hilal telah tampak! hilal telah tampak!", begitu kata orang-orang. Maka dalam sekejap kampung menggeliat penuh gairah. Orang-orang meninggalkan rumah. Berjalan cepat menuju kantor lurah.
Di sana ada sebuah TV hitam putih yang akan menyiarkan pengumuman resmi dari departemen agama tentang waktu lebaran. Tapi beberapa waktu sebelumnya telah tersiar informasi hilal sudah tampak. Hampir dipastikan lebaran akan dirayakan esok hari.
Hanya di kantor lurah orang-orang Kemuning bisa melihat TV. Listrik baru masuk ke kampung sejak enam bulan lalu.
Kemuning sendiri merupakan kampung yang tertinggal. Rumah-rumah penduduknya rata-rata masih berdinding papan dan gedheg. Hanya beberapa orang yang mampu melapisi rumahnya dengan tembok dan lantai semen. Itu pun sudah maksimal. Untuk hal lain, seperti membeli TV mereka harus mengalah dengan kepentingan yang lebih besar, yakni kepentingan perut. Kehidupan mereka tak memungkinkan untuk mendapatkan "kemewahan" lebih banyak lagi.
Meskipun demikian, sejak listrik masuk ke kampung kebahagiaan orang-orang Kemuning seolah mendekati paripurna. Listrik memberi kampung mereka cahaya.
Tiang-tiang langsing dan tegak menghantarkan kabel-kabel ke beberapa rumah. Cahaya lampu bohlam dan neon  menghasilkan bayang-bayang sepanjang malam. Sementara itu langgar tempat orang-orang Kemuning memanjatkan doa tak lagi memasang lampu teplok. Listrik telah memberi langgar sumber cahaya yang baru.
Jalan-jalan kampung yang semula senyap dan temaram berubah lebih terang. Malam tak lagi hanya dikuasai oleh suara-suara kodok dan serangga. Tapi juga oleh berisik orang-orang yang menikmati malam.
Orang-orang Kemuning jadi punya kegemaran berceloteh di malam hari. Pos ronda yang sebelumnya dibiarkan sepi dan terkesan angker, kini jadi tempat  anak muda dan kaum laki-laki di Kemuning untuk berkumpul setiap malam. Sebuah tiang lampu besar yang tertancap di depan pos ronda jadi salah satu alasannya. Mereka betah berceloteh sampai dini hari.
Namun, tempat yang paling terang di Kampung Kemuning semenjak listrik masuk enam bulan lalu tentu saja kantor lurah. Bola-bola lampu menempel di beberapa sisi kantor. Dan yang paling luar biasa ialah sebuah TV tabung hitam putih ada di dalamnya.
Setiap Sabtu dan Minggu, dari sore hingga malam tv tersebut dikeluarkan ke halaman kantor. Tayangan cerdas cermat, drama keluarga, sampai berita malam jadi hiburan orang-orang Kemuning.
Betapa semua itu disambut suka cita oleh orang-orang Kemuning. Listrik benar-benar telah memberi mereka cahaya yang pada saat bersamaan juga membunuh rasa lapar dan kemiskinan sebagian warganya.
Tapi tidak pernah sekalipun orang-orang Kemuning memperlihatkan kenestapaan mereka. Orang-orang itu seolah-olah mensyukuri secara luar biasa hadiah pemerintah yang telah mengalirkan listrik ke kampung mereka. Listrik membuat mereka bebas dari keharusan menyalakan lilin, lampu teplok atau obor tiap malam. Orang-orang Kemuning juga tak lagi susah payah menyetrum aki atau batere.
Listrik seolah membuat hidup mereka yang tertinggal jadi lebih terang. Listrik membuat orang-orang Kemuning tak henti bersyukur atas nikmat sekecil apapun. Beberapa orang bahkan masih suka tersenyum setiap kali melihat lampu lima belas watt menyala.
Kini setelah 29 hari menjalani puasa dengan suasana baru semenjak listrik masuk ke kampung, orang-orang Kemuning kembali berkumpul di kantor lurah. Ada yang duduk-duduk dan ada yang berdiri. Beberapa orang bergerombol. Banyak yang sambil berceloteh.
Meski demikian mereka semua memandang ke arah tv hitam putih. Tak sabar mereka melihat pengumuman lebaran. Hilal memang sudah tampak seperti yang dikabarkan dari mulut ke mulut.
Namun, listrik yang telah memberi mereka cahaya terang kini membuat mereka punya kesempatan untuk pertama kalinya menyaksikan pengumuman lebaran secara langsung dari Jakarta. Sesuatu yang belum pernah mereka lihat sebelumnya.
Maka saat akhirnya pengumuman itu tiba, semua orang di halaman kantor lurah menjadi sumringah. Segera semuanya berjalan cepat ke rumah masing-masing.
Kecuali satu orang yang terlihat tenang dan berjalan pelan. Langkahnya seolah tak tergoda untuk mengikuti irama langkah cepat orang-orang kebanyakan. Lelaki itu tenang dan terus berjalan menuju langgar. Terdengar lirih dari mulutnya: "Allahu akbar allahu akbar, la ilaha illallah wallahu akbar alllahu akbar walillahil hamd"
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H