Mushola Istiqomah di kampung saya hanyalah mushola kecil yang terletak di ujung gang sekaligus di pinggir kali dangkal yang memisahkan dua rukun tetangga (RT). Saya lupa kapan persisnya mushola ini dibangun. Seingat saya waktu SD tanah yang kini menjadi tempat berdirinya mushola masih berupa kebun dan kolam ikan.
Mushola ini jaraknya hanya sekitar 50 meter dari rumah kami. Dua pengeras suara di puncak atap mengarah ke timur di mana rumah kami berada. Oleh karena itu, setiap kali memasuki waktu salat, adzan terdengar sangat nyaring dari rumah.
Meski hanya mushola kecil, jamaah yang memakmurkannya terbilang lumayan. Selalu ada jamaah saat salat Subuh sampai Isya. Dulu pengajian anak-anak digelar pada sore hari. Namun, belakangan menurut kabar dari orang tua, pengajian untuk anak-anak dipindahkan ke rumah salah satu warga.
Sedangkan pengajian bagi orang tua tetap digelar di mushola dan sesekali berpindah-pindah ke rumah warga menurut giliran. Tujuannya untuk meningkatkan silaturahmi antar warga sekaligus memenuhi keinginan beberapa warga yang sedang punya hajat tertentu dan ingin pengajian digelar rumahnya.
Memasuki bulan Ramadan, kegiatan mushola semakin hidup. Jamaah salat Isya dan tarawih sering membludak sampai ke luar teras. Pernah suatu kali beberapa orang terpaksa menggelar sajadahnya di atas aspal di luar teras. Akan tetapi fenomena ini biasanya hanya dijumpai di awal-awal Ramadan. Memasuki pertengahan Ramadan, fenomena lain yang lebih klasik terjadi, yakni menyusutnya jumlah jamaah.
Meskipun demikian, mushola akan kembali ramai pada sepuluh hari terakhir. Salah satu sebabnya ialah digelarnya Semaan pada hari-hari terakhir Ramadan.
Semaan ialah semacam pengajian atau majelis ilmu di mana seorang atau beberapa orang akan membacakan ayat-ayat Alquran serta mengkaji maknanya. Jamaah yang lain cukup menyimak sambil memperhatikan tajwid dan menghayati maknanya.
Penyelenggaraan Semaan mendekati lebaran di mushola kami sebenarnya  bertujuan untuk memaksimalkan amalan dan ibadah menjelang akhir Ramadan. Semaan dianggap sebagai cara yang mudah untuk memperkaya pengetahuan agama sekaligus membangkitkan semangat warga menyambut Idulfitri.
Semaan menjelang lebaran juga dimanfaatkan untuk mengumpulkan warga, termasuk warga yang baru pulang dari rantau. Para pemudik di kampung kami biasa menjadikan mushola sebagai tempat temu kangen antar sesama perantau maupun dengan warga lainnya. Ini tak lepas dari masih kuatnya hubungan orang-orang di kampung meski sebagian di antara mereka telah lama terpisah atau bahkan telah menjadi warga daerah lain.
Oleh karena itu, sekiranya sekarang saya sudah mudik seperti biasanya saya mudik H-4 lebaran, serta tidak ada pandemi Covid-19, pasti saya tak akan melewatkan acara Semaan.
Dan memang Semaan di penghujung Ramadan atau menjelang lebaran di mushola kami tak pernah sepi. Meski digelar sekitar pukul 20.00 seusai salat tarawih, tapi persiapannya sudah terlihat sejak sebelum waktu berbuka.
Salah satu sebabnya ialah karena Semaan akan selalu ditutup dengan makan bersama sehingga membutuhkan persiapan lebih awal. Hidangan untuk makan bersama merupakan hantaran sukarela para warga.
Siapapun boleh menyumbang makanan atau minuman. Maka setiap orang bisa mendapatkan makanan yang berbeda. Biasanya berupa nasi bungkus yang isinya bermacam-macam. Kecuali nasi tumpeng atau nasi kotak pada Semaan hari pertama biasanya disiapkan secara khusus.
Adanya makan-makan barangkali menjadi salah satu daya tarik yang mengudang warga, terutama anak-anak untuk mengikuti Semaan. Meski demikian hal itu tak dipermasalahkan. Selagi Semaan berjalan khusyuk, kegayengan yang menyertai setelahnya dianggap sebagai perekat silaturahmi antar warga.
Setelah itu Semaan dimulai dengan lantunan ayat-ayat suci Alquran yang dipandu oleh seorang kyai atau ulama lokal. Seringpula anak laki-laki dari imam mushola yang juga santri sebuah pondok pesantren di Magelang yang memimpin pembacaan ayat suci.
Selanjutnya kyai menjelaskan tafsirannya. Tak lupa disertai wejangan yang isinya juga diambil dari kandungan ayat suci.
Agar warga lebih paham, biasanya tafsir dan wejangan disampaikan dalam bahasa campuran Jawa dan Indonesia. Kadang kyai mengulang kembali penekanan pada hal tertentu agar pemahaman yang diterima oleh warga tidak keliru.
Inilah keutamaan dari tradisi Semaan karena dengan mengkaji ilmu agama secara bersama-sama dengan bimbingan seorang guru atau kyai, tafsirannya bisa terjaga. Dengan kata lain menghindari kesalahan tafsir yang sering timbul jika ilmu dipelajari sendiri.
Sambil makan bersama, warga atau jamaah yang hadir larut dalam keakraban. Maka dari itu tradisi Semaan selalu disambut antusias oleh warga. Dan bagi warga di perantauan seperti saya, Semaan di mushola dekat rumah akan selalu dirindukan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H